kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Infrastruktur, instrumen pembiayaan dikejar


Selasa, 24 Oktober 2017 / 18:21 WIB
Infrastruktur, instrumen pembiayaan dikejar


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melansir, total utang pemerintah pusat mencapai Rp 3.866,45 triliun per akhir September 2017 atau bengkak Rp 40 triliun dibandingkan posisi akhir Agustus 2017, yaitu Rp 3.825,79 triliun.

Dengan demikian, rasio utang Indonesia terus saat ini sudah 28,4% terhadap PDB. Artinya, ruang utang pemerintah semakin kecil. Pasalnya, rasio utang yang aman adalah 33% sehingga ruang yang ada menyempit, yaitu tinggal sekitar 4% dari PDB atau kurang dari Rp 500 triliun.

Namun demikian, kebutuhan pembiayaan infrastruktur sangat besar. Oleh karena itu, pemerintah tengah mendorong berbagai instrumen pembiayaan agar pembiayaan infrastruktur tidak membebani APBN. Salah satunya yang sudah siap adalah KIK Dana Investasi Infrastruktur (Dimfra) sebagai produk di pasar modal.

Ketua Tim Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Wahyu Utomo mengatakan, aturan untuk KIK Dimfra sendiri sudah disiapkan oleh pemerintah lewat Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Skema yang akan berlaku ialah sekuritisasi income dari infrastruktur.

“Itu (aturannya) baru keluar dari OJK. Sudah ada dua bulan lalu untuk KIK Dimfra. Kami sedang coba melihat proyek mana yang bisa gunakan itu,” kata Wahyu di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan (Kemkeu), Jakarta, Selasa (24/10).

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, instrumen ini untuk melengkapi dua skema sekuritisasi saat ini, yaitu Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Efek Beragunan Aset (EBA) dan KIK Dana Investasi Real Estate (DIRE).

Kedua instrumen itu masih dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), namun untuk instrumen yang baru ini tidak perlu berurusan dengan BPHTB.

Menurut Darmin, nantinya sekuritisasi income ini akan diterapkan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, Wahyu mengatakan, sekuritisasi ini juga bisa diterapkan di proyek-proyek swasta.

“Kan sekarang yang operasikan jalan dan infrastruktur tidak hanya BUMN, swasta bisa,” ujar Wahyu.

Selain itu, pihaknya juga tengah menyiapkan limited concession scheme (LCS) atau pengelolaan aset terbatas. Wahyu menjelaskan, Infrastruktur yang sudah dibangun, misalnya bandara, dikerjasamakan dengan swasta dari sisi pelayanan atau runway-nya. Hasilnya dapat digunakan untuk bangun infrastruktur lain.

“Kalau kerja sama, swasta harus bayar upfront payment. Dia diberi hak pengelolaan sekian tahun tetapi asetnya tetap di pemerintah. Nah, upfront payment ini dipakai buat bangun infrastruktur yang lain. Tidak hanya buat bandara,” jelasnya.

Untuk menaruh uangnya, pemerintah akan membuat Badan Layanan Umum (BLU) baru di bidang keuangan. “Agar uang itu bisa kumpul di Kemkeu untuk dipakai membangun infrastruktur. Jadi, brown field project mulai hasilkan uang untuk bangun infrastruktur lain,” katanya.

Menurut Wisnu konsep dari LCS ini sudah selesai digarap oleh pihaknya. Setelah itu, perpres baru akan selesaikan. “Kami inginnya tahun ini. Kami sudah bicara dengan Kemenkeu dan Kemenko, tinggal kami finalkan dan bikin Perpresnya,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×