Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID–JAKARTA. Kinerja sektor manufaktur Indonesia pada Juli 2025 menunjukkan perbaikan dari bulan sebelumnya, meski masih berada di zona kontraksi selama empat bulan berturut-turut sejak April.
Data Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis menunjukkan angka 49,2, naik dari 46,9 pada Juni. Namun, capaian ini belum cukup membawa sektor manufaktur kembali ke level ekspansif.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan bahwa penyebab utama kondisi ini adalah berlanjutnya penurunan produksi dan permintaan baru, meskipun tingkat penurunannya mulai mereda dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Baca Juga: Pelonggaran TKDN Usik Industri Alat Kesehatan
"Selain itu permintaan ekspor baru kembali mengalami kontraksi, mencerminkan masih lemahnya pasar global, yang berdampak pada sektor manufaktur domestik,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (1/8).
Josua melanjutkan, produsen juga dihadapkan pada kenaikan biaya signifikan, terutama pada harga bahan baku dan fluktuasi nilai tukar, sehingga terpaksa menaikkan harga produk akhir meski laju inflasi relatif moderat.
Prospek masih menantang hingga akhir tahun
Josua mengingatkan bahwa pemulihan sektor manufaktur Indonesia ke depan masih akan menghadapi sejumlah tantangan besar. Salah satunya adalah tantangan sentimen bisnis yang berada di titik terendah sejak survei PMI dimulai pada 2012, mencerminkan tingginya ketidakpastian terhadap kondisi ekonomi mendatang.
"Kekhawatiran Utama pelaku usaha meliputi potensi dampak negatif tarif perdagangan dari AS serta pelemahan daya beli konsumen domestik yang masih membatasi permintaan,” jelasnya.
Lebih lanjut Josua menjelaskan, meskipun angka PMI mengalami peningkatan moderat pada Juli, tanpa perbaikan signifikan dalam permintaan domestik dan global, sektor manufaktur Indonesia berpotensi akan cenderung stagnan atau masih mengalami kontraksi ringan hingga akhir tahun.
Industri usaha memerlukan dorongan positif baik dari faktor eksternal, seperti perbaikan permintaan global dan stabilisasi harga komoditas, maupun dari faktor internal, seperti stimulus fiskal yang mendukung konsumsi rumah tangga dan investasi industri. Hal ini untuk membawa angka PMI ke level ekspansif di atas 50 dalam beberapa bulan ke depan.
"Dengan mempertimbangkan kondisi terkini serta risiko eksternal dan internal yang masih tinggi, pemulihan sektor manufaktur Indonesia hingga akhir tahun diperkirakan masih akan lambat dan terbatas," ungkap Josua.
Untuk mendorong pemulihan sektor ini, Josua menekankan pentingnya stimulus fiskal yang mendukung konsumsi rumah tangga dan investasi industri. Selain itu, stabilisasi harga komoditas dan perbaikan permintaan global juga dibutuhkan untuk menopang pemulihan.
"Pemerintah dan pelaku usaha perlu mengantisipasi dengan strategi yang lebih adaptif terhadap volatilitas pasar global serta upaya peningkatan daya beli domestik agar pertumbuhan industri manufaktur dapat kembali positif dan berkelanjutan," ungkap Josua.
Baca Juga: Ada Tarif Trump, Industri Sarung Tangan RI Bidik Perluasan Pasar Ekspor
Selanjutnya: Coba Cara Menurunkan Asam Urat agar Tidak Muncul Tofi, Cegah Sejak Dini!
Menarik Dibaca: Coba Cara Menurunkan Asam Urat agar Tidak Muncul Tofi, Cegah Sejak Dini!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News