Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kritik pemerintah Amerika Serikat pada pasar fisik domestik Indonesia yang marak menjual barang palsu, dinilai mencerminkan regulasi pemerintahan dalam melindungi hak kekayaan intelektual (HAKI) masih sangat longgar
Dalam laporannya, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) mengklaim pemerintahan Indonesia dianggap gagal menertibkan peredaran barang palsu dan bajakan, serta tidak cukup melindungi hak kekayaan intelektual. Bahkan, USTR secara specific dalam laporannya menyebut Pasar Mangga Dua dan E-commerce Indonesia masuk dalam daftar Notorious Markets atau pasarnya barang palsu/bajakan, yang longgar regulasinya menjadi titik temu antara produksi luar dan konsumsi domestik.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyampaikan, hal tersebut merupakan kritik keras yang tidak bisa dipandang sebelah mata oleh pemerintah Indonesia. Ia menilai isu kompleks tersebut telah menyentuh berbagai aspek, baik dari perdagangan internasional, penegakan hukum, hingga dinamika ekonomi mikro pelaku usaha kecil.
"Tuduhan AS memang keras, tapi bisa menjadi momentum untuk memperbaiki sistem perlindungan HAKI di Indonesia. Jangan sampai negara hanya bersikap keras karena tekanan luar, tapi lemah dalam memberi dukungan ke dalam," ungkap Achmad dikutip Senin (21/4).
Baca Juga: Jurus Pemerintah Tekan Tarif, RI Bakal Kerek Impor LPG dari AS hingga 85%
Jika melihat data global, Tiongkok memang merupakan negara dengan volume produksi barang palsu terbesar di dunia, mencakup lebih dari 70% barang bajakan secara global menurut laporan OECD dan EUIPO. Namun, fokus laporan USTR bukan semata-mata pada negara produsen, melainkan pada titik-titik distribusi dan pasar akhir.
Menuru Achmad, penertiban pasar dari barang palsu harus disertai pemberdayaan ekonomi yang konkret, agar Indonesia bukan hanya dilihat sebagai pasar besar, tapi juga sebagai negara yang adil bagi semua pelaku usahanya.
Sementara itu, Amerika Serikat tentu punya kepentingan strategis yakni melindungi brand dan industri mereka dari erosi nilai akibat pemalsuan. Ketika barang palsu yang meniru merek-merek Amerika masuk dan dijual bebas di Indonesia, mereka tidak hanya kehilangan potensi penjualan, tetapi juga menghadapi degradasi reputasi merek.
"Ini yang mendorong AS untuk menekan negara seperti Indonesia agar memperkuat perlindungan HAKI, meski negara asal produksi seperti Tiongkok tidak disentuh secara frontal karena kompleksitas hubungan dagang yang lebih besar," ungkap Achmad.
Sejalan dengan itu, lemahnya penindakan dan masalah structural di E-commerce terhadap barang palsu di Indonesia masih jauh dari kata optimal. Banyak pelaku usaha menjual barang tiruan secara terang-terangan di marketplace besar tanpa takut sanksi.
Ketidakhadiran sistem filtering yang efektif, lemahnya pengawasan dari pemerintah, serta kurangnya insentif bagi platform digital untuk membersihkan diri dari pedagang ilegal menjadi akar masalah. Alhasil perdagangan digital menciptakan ruang gelap (black box) di mana identitas pelaku dan asal barang sulit ditelusuri.
"Ini memerlukan pembaruan regulasi digital dan kolaborasi aktif antara pemerintah, penyedia platform, dan pemegang hak kekayaan intelektual. Tanpa itu, Achmad menyebut platform e-commerce akan terus menjadi jalur aman bagi pelaku pemalsuan. Untuk itu pemerintah Harus proaktif, bukan reaktif," terang Achmad.
Baca Juga: Ekonom: Perluasan Pasar Perlu Dilakukan untuk Merespons Kebijakan Tarif AS
Selanjutnya: 19 April Ditetapkan sebagai Hari Keris Nasional, Sudah Tahu?
Menarik Dibaca: Poco M4 Pro Desainnya Modern, Performa Cepat, dan Harga Terjangkau
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News