kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ikuti jejak KPK, KPPU bakal jadi macan ompong lewat beleid Cipta Kerja


Kamis, 20 Februari 2020 / 09:12 WIB
Ikuti jejak KPK, KPPU bakal jadi macan ompong lewat beleid Cipta Kerja
ILUSTRASI. Gedung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)


Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar

KONTAN.CO.ID - Lembaga pengawas persaingan usaha bakal menjadi macan ompong. Seperti kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemerintah memereteli kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sehingga hanya menjadi simbol lembaga anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah akan memberangus seluruh kekuasaan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Beleid Cipta Kerja akan membuat lembaga ini makin tidak bergigi. 

Sebab RUU Cipta kerja memangkas semua sanksi yang sebelumnya menjadi kewenangan majelis KPPU. Dengan penghapusan sanksi, maka pelanggaran atas persaingan usaha tidak sehat di Indonesia bisa lebih leluasa.

Meskipun demikian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan perubahan denda di UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tujuannya untuk mengontrol lembaga tersebut. Sebab lembaga ini memiliki kewenangan yang cukup besar yakni melakukan investigasi atas suatu kasus persaingan usaha sendiri, lalu mengadili sendiri oleh hakim-hakim yang ditentukan sendiri dan membuat keputusan sanksi sendiri.

Hal inilah yang menurut Airlanggga akan dirasionalisasikan. "Ada yang ditambah ada yang dikurangkan
, karena UU Persaingan Usaha ini kan eseksif yang menginvestigasi sendiri, hakimnya dia sendiri dan yang memutuskan mereka sendiri. Sementara yang diurusi bukan transaksi korporasi besar melainkan urusan tender-menender yang nilainya kecil.  Ini yang tidak terjadi di negara-negara lain." kata Airlangga Senin (17/2). 

Agar lebih memahami apa saja perubahan dan poin baru yanng dimasukkan pemerintah dalam merevisi UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berikut ulasan KONTAN dari RUU Cipta Kerja.

Pada pasal 44 di UU No 5 Tahun 1999 menyebutkan; 
(1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi.

(2) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.

(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi.

(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan *yang berlaku.*

(5) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Rencana perubahan di Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja berubah menjadi 
(1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi.  

(2) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada *Pengadilan Niaga* selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.

Berdasarkan catatan KONTAN, terdapat perubahan tempat penyelesaian perkara sengketa keberatan atas putusan majelis Komisi dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga.

(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi.  

(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Kata "yang berlaku" menjadi hilang di ayat ini.

(5) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. 

Selai itu ada juga perubahan di Pasal 45. Pada aturan lama tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan,
(1) Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut.

(2) Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.

(3) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

(4) Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima.

Usulan perubahan Pasal 45 di RUU Cipta Kerja menjadi: 
(1) Pengadilan Niaga harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut.  

(2) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.  

Menurut catatan KONTAN pada ayat (2) di pasal ini terdapat kerancuan dan ketidaksingkronan dengan ayat (1) yakni forum penyelesaian sengketa di ayat (1) menyebut Pengadilan Niaga, sementara pada ayat (2) kembali menyebut Pengadilan Negeri seperti yang ada di UU lama. Ada kemungkinan ada kesalahan ketik dalam menyusun RUU Cipta Kerja ini.

Selanjutnya pada ayat (3) menyebutkan Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pada ayat ini  RUU menghapuskan batasan waktu yang diberikan di UU lama yakni selama 30 hari sejak permohonan kasasi diterima, kepada majelis kasasi untuk membuat keputusan

Rancangan UU Cipta Kerja juga mengajukan usulan perubahan di Pasal 47
UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 

(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:

  • a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
  • b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
  • c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
  • d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
  • e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
  • f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
  • g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).

Rencana perubahan di RUU Cipta Kerja menjadi 
(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini.  (tidak ada perubahan)

(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:  

  • a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16;  
  • b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;  
  • c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27;  
  • d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;  
  • e. penetapan pembatalan atas  penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28;  
  • f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau  
  • g. pengenaan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pada RUU perubahan pemerintah mengusulkan agar penghapusan batasan minimum Rp 1 miliar tapi menaikkan batasan denda maksimum dari Rp 25 miliar menjadi Rp 100 miliar.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

Pemerintah juga mengusulkan perubahan di Pasal 48 UU No 5 tahun 1999 yang mengatur sanksi: 
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.

(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Pada RUU Cipta Kerja, seluruh pasal 48 diubah menjadi:
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini dikenai paling tinggi Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda paling lama 3 (tiga) bulan. 

Menurut catatan KONTAN sanksi pelanggaran atas pasal 41 artinya hanya dilakukan terhadap tiga jenis pelanggaran, yakni kewajiban menyerahkan alat bukti dalam proses peyelidikan atau pemeriksaan. Lalu sanksi kepada pelaku usaha yang menolak diperiksa atau memberikan informasi, juga menghambat proses pemeriksaan dan penyidikan.

Catatan penting dari perubahan ini, artinya terjadi perombakan drastis pada pasal ini, karena essensi pelanggaran dalam persaingan usaha tidak sehat menjadi tidak dikenakan sanksi sama sekali

Misalnya sanksi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 (yakni mengatur tentang kartel), Pasal 9 (kartel) sampai dengan Pasal 14 (mengatur tentang integrasi vertikal), Pasal 16 sampai  dengan Pasal 19 (yang mengatur mengenai larangan praktik monopoli monopsoni dan pengusasaan pasar). Selain itu juga, Pasal 25 (mengenai posisi dominan), Pasal 27(penguasaan pangsa pasar), dan Pasal 28 (tata cara penggabungan peleburan dan pengambilalihan). Sebelumnya sanksi ini diatur secara mendetail ayat (1) pasal 48 UU lama dan di aturan baru sama sekali dihapuskan.

Selain itu sanksi terhadap pelanggaran Pasal 5 (kartel secara horisontal) sampai dengan Pasal 8 (kartel secara vertikal), Pasal 15 (tentang perjanjian tertutup). Selain itu penghapusan denda juga dilakukan untuk pelanggaran Pasal 20 (mengenai pengaturan harga jual lebih murah dengan tujuan mematikan persaingan) sampai dengan Pasal 24 (persekongkolan menghambat produksi dan distribusi), dan Pasal 26 adanya rangkap jabatan direksi komisaris di satu sejenis juga dihapuskan sama sekali. 

Perubahan terakhir ada pada  Pasal 49 UU no 5 Tahun 1999 menyebutkan;  Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau

b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau 

c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

Ketentuan ini dihapuskan seara menyeluruh di RUU Cipta Kerja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×