Reporter: Dendi Siswanto, Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gelombang kritik terhadap Badan Pusat Statistik (BPS) kian deras, khususnya terkait akurasi data ekonomi dan kemiskinan yang baru dirilis.
Pada 8 Agustus 2025, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengirim surat kepada United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission.
Surat tersebut berisi permintaan investigasi dan peninjauan ulang atas data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang dilaporkan sebesar 5,12%.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai data BPS tersebut tidak relevan dengan indikator makroekonomi lainnya, seperti indeks manufaktur dan kenaikan angka pemutusan hubungan kerja massal.
Baca Juga: Ramai-Ramai Publik Meragukan Data BPS, Minta Transparansi Penghitungan
"Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi," ujarnya.
Ekonom Universitas Paramadina turut meminta BPS membuka secara transparan metodologi dan asumsi perhitungan produk domestik bruto (PDB), termasuk sumber data, pembobotan sektor, dan metode estimasi yang dapat diverifikasi.
Menurut mereka, ketidaksesuaian data dengan kondisi di lapangan dapat membuat publik kehilangan acuan sekaligus menimbulkan risiko salah arah dalam kebijakan ekonomi nasional.
Lembaga The Prakarsa mengkritik metode penghitungan angka kemiskinan yang digunakan BPS. Peneliti Kebijakan Sosial The Prakarsa, Pierre Bernando Ballo, menyebut BPS masih mengandalkan metode berbasis moneter dengan mengukur garis kemiskinan makanan dan non-makanan, atau cost of basic needs.
Baca Juga: CELIOS Kritik Metodologi Pengukuran Kemiskinan BPS, Dinilai Usang dan Tidak Relevan
"Metode ini cukup outdated dan belum diubah sejak hampir tiga dekade lalu. Padahal, pola konsumsi masyarakat, deprivasi, dan faktor-faktor penyebab kemiskinan lainnya sudah berubah," katanya.
Sigmaphi Indonesia juga merilis temuan bahwa pada 2023 masih terdapat 42,9% penduduk Indonesia, atau sekitar 118,73 juta jiwa, hidup dalam kondisi tidak layak.
Penghitungan ini menggunakan pendekatan berbasis basic rights (hak dasar), berbeda dari basic needs (kebutuhan dasar) yang digunakan BPS.
Baca Juga: BPS Sedang Proses Finalisasi Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional
Sigmaphi merekomendasikan pemerintah mengubah indikator resmi kesejahteraan dengan memasukkan hak dasar, serta menempatkan pemenuhan pangan dan perumahan sebagai prioritas.
Selanjutnya: Usai Efek Tarif, Hasil Unitlink Saham Positif
Menarik Dibaca: Cek Jadwal KRL Jogja Solo Pekan Ini 11-15 Agustus 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News