Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Baru-baru ini banyak beredar kabar bahwa presiden terpilih Prabowo Subianto akan menghapus batas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan, apabila kabar tersebut benar akan dilakukan oleh pemerintahan selanjutnya, maka siap-siap stabilitas makro Indonesia akan terganggu. Bahkan, biaya ekonomi Indonesia akan semakin mahal.
"Kalau dipaksakan ya siap-siap saja makro stabilitasnya goyang. Ongkosnya mahal," ujar Faisal kepada awak media di Gedung DPR RI, Selasa (10/7).
Baca Juga: Berjibaku Menutup Defisit Anggaran Negara
Faisal mengatakan, dengan batas defisit APBN yang akan dihapus, maka ketidakdisplinan fiskal akan terjadi sehingga kebutuhan belanja akan jor-joran dan berujung kepada peningkatan utang apabila tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan negara.
"Kalau defisitnya dinaikkan, artinya kan ngegas terus (belanja). Siapa yang ngerem ini?," tanya Faisal.
"Anggaran militer mau dinaikkan, (biaya) makan gratis ratusan triliun tapi (penerimaan) pajaknya gak naik," imbuh Faisal.
Memang pasangan Prabowo-Subianto berkomitmen untuk meningkatkan tax ratio hingga 23%.
Baca Juga: Utang Pemerintah Naik Lagi, Kini Tembus Rp 8.353,02 Triliun per Mei 2024
Namun Faisal melihat hal tersebut tidak akan mungkin untuk diraih. Dirinya mewanti-wanti pemerintahan Prabowo tidak mengerek tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk menggenjot tax ratio.
"Mau dinaikkan di sekitar 20%, mana ada di dunia tax ratio itu naik dua kali lipat. Itu kan gak ada. Artinya apa yang dinaikkan? PPN biasanya yang dinaikkan. Dampaknya ke rakyat, karena orang miskin bayar PPN-nya sama," terang Faisal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News