Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Komisi XI DPR RI mencecar Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa beserta jajarannya di Kementerian Keuangan terkait kinerja penerimaan pajak 2025 yang masih rendah, setelah realisasinya baru mencapai 66% terhadap target APBN dan 70% terhadap Laporan Semester (Lapsem) hingga Oktober 2025.
Kritik paling keras disampaikan anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Harris Turino, dalam Rapat Kerja dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
“Ini ngeri sekali, Pak. Penerimaan pajak baru 70% dari Lapsen dan 66% dari target APBN,” ujar Harris dalam rapat kerja Bersama Kementerian Keuangan di Gedung DPR, Kamis (27/11).
Baca Juga: Prabowo Panggil Purbaya hingga Bima Arya ke Istana, Apa yang Dibahas?
Ia menilai capaian tersebut menunjukkan pelemahan mendalam dalam kinerja perpajakan.
Mengacu pola historis, biasanya penerimaan pajak naik 23%–24% pada November–Desember. Dengan pola serupa, Harris memproyeksikan realisasi akhir tahun hanya mencapai 89%–91%, atau sekitar Rp 1.931 triliun – Rp 1.950 triliun.
“Angka ini jauh di bawah target APBN maupun Lapsen,” tegasnya.
Ia memperingatkan bahwa tren penurunan tersebut dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi pendanaan belanja negara.
Kritik DPR tak berhenti pada capaian tahun ini. Harris juga mempertanyakan kesiapan Kementerian Keuangan menghadapi target pajak tahun 2026 yang telah ditetapkan sebesar Rp 2.357 triliun, atau naik hampir Rp 400 triliun dari 2025.
“Bagaimana strategi mencapai target ini? Apakah realistis, sementara kebutuhan pendanaan program strategis nasional juga sangat besar?” katanya.
Soroti SP2DK Menumpuk & Penanganan Wajib Pajak Besar
Baca Juga: Indonesia–China Perkuat Kolaborasi melalui Two Countries Twin Parks
Harris mengkritik pola pengejaran pajak yang menurutnya tak efektif. Ia menilai aparat pajak justru lebih sering mengejar wajib pajak patuh melalui SP2DK yang menumpuk di akhir tahun, sementara ratusan wajib pajak besar yang menunggak tidak ditindak agresif.
“Fenomena ini sudah lama terjadi dan menimbulkan ketidakadilan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti deviasi besar antara bruto dan neto, terutama karena tingginya tingkat restitusi dimana restitusi PPh Badan mencapai 80%, dan restitusi PPN sebanyak 23,9%
Di sisi lain, penerimaan pajak neto dari beberapa sektor utama juga tertekan, seperti pada sektor perdagangan turun hampir 10%, dan sektor pertambangan turun hampr 14%.
Menurut Harris, kombinasi tekanan sektor usaha dan tingginya restitusi menyebabkan penerimaan neto jauh lebih rendah dibanding potensi bruto.
Kinerja Pajak Tidak Tercapai Berpotensi Tambah Utang
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie Othniel Frederic Palit, turut mempertanyakan dampak dari tidak tercapainya target pajak terhadap posisi fiskal negara.
“Pendapatan negara masih kurang Rp 140 triliun. Pajaknya saja kurang Rp 113 triliun,” kata Dolvie.
Ia menjelaskan bahwa bila menggunakan desain awal target pajak sebelum revisi PPN 12%, seharusnya selisih wajar adalah Rp 70 triliun. Namun kini terdapat kekurangan Rp 43 triliun yang menurutnya mencerminkan kinerja pajak yang tidak tercapai.
“Kalau kinerja tidak tercapai, ujung-ujungnya Bapak nambah utang. Jadi ketika kinerja yang tidak tercapai itu, Bapak lempar menjadi tanggung jawab rakyat Indonesia menanggung hutang," ungkapnya.
Dolvie juga mempertanyakan apakah ada konsekuensi internal atau evaluasi kinerja yang dilakukan Kementerian Keuangan, mengingat target penerimaan pajak menjadi penopang utama APBN.
Baca Juga: Anggota DPR Usul Program MBG untuk Keluarga Penderita TBC yang Tidak Mampu
Selanjutnya: RFCC 90.000 Barel per Hari, Kilang Balikpapan Genjot Produksi BBM Nasional
Menarik Dibaca: Katalog Promo JSM Alfamidi Spesial Gajian Periode 27-30 November 2025, Hanya 4 Hari!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













