Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pembukaan ekspor benur alias benih bening lobster (BBL) untuk kegiatan budidaya menuai pro-kontra di masyarakat. Bagaimana tidak, kebijakan buka-tutup ekspor BBL rutin dilakukan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Penutupan ekspor benur terakhir dilakukan pada tahun 2021 lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo sebagai tersangka terkait izin ekspor BBL pada tahun 2020.
Tahun ini, ekspor benur kembali dibuka lewat Permen KP Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portnusspp.) yang mulai berlaku pada 21 Maret 2024.
Baca Juga: Anggota Komisi IV DPR: Pembukaan Ekspor Benur Rugikan Nelayan dan Hilangnya Devisa
Namun kali ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut kebijakan ekspor ini untuk kegiatan budidaya di luar negeri. Sayangnya, peraturan tersebut dinilai rawan celah korupsi salah satunya lewat kuota penangkapan benur.
Anggota Komisi IV DPR RI, Saadiah Uluputty mengatakan, buka tutup ekspor benur terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Menurutnya, dinamika ini sangat merugikan nelayan termasuk hilangnya devisa negara.
“Ini dilakukan KKP untuk memfasilitasi penjualan BBL dari nelayan secara legal sehingga mampu memberikan dampak ekonomi bagi nelayan dan juga pemerintah tidak kehilangan devisa dari kegiatan tersebut,” ujarnya kepada KONTAN, Senin (13/5).
Saadiah mengungkapkan, selama ini negara telah mengalami kerugian kurang lebih Rp 54 triliun per tahun akibat penyelundupan BBL. Menurutnya, pembukaan ekspor ini berpotensi tindak korupsi seperti yang terjadi di masa mantan Menteri KP, Edhy Prabowo.
Baca Juga: Keran Ekspor Benur Dibuka, Pembudidaya: Sangat Tidak Strategis dan Tidak Bijak
Dia bilang, celah korupsi itu muncul terkait kuota penangkapan BBL, di mana bila tidak dilakukan dengan hati-hati bakal membuka kesempatan mafia alias pemburu rente memonopoli kuota dan mengorbankan nelayan kecil.
“Praktik-praktik jual-beli kuota yang dilakukan oleh relasi penguasa dan pengusaha akan semakin memperburuk keadaan,” terang dia.
Saadiah meminta, pemerintah perlu waspada kepada para mafia yang hendak memainkan kuota tangkapan benur ini. Selain itu, kegiatan budidaya di luar negeri harus mendapat pengawasan yang ketat agar tepat sasaran serta menguntungkan negara dan nelayan.
“Tujuannya agar kita bisa mendapatkan manfaat ekonomi yang maksimal dari kegiatan budidaya tersebut,” pungkasnya.
Baca Juga: Dorong Produktivitas, KKP Buat Dua Aturan Pengelolaan Benur
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menyatakan bahwa banyak pihak yang menyayangkan pembukaan ekspor benur ini. Menurutnya, ini hanya menguntungkan pengusaha yang membudidayakan lobster di luar negeri salah satunya Vietnam.
“Jika sistem kuota, (yang diuntungkan) tentu pengusaha yang dekat dengan kekuasaan,” katanya kepada KONTAN.
Yusri tak menampik, pembukaan keran ekspor BBL akan menurunkan semangat pembudidaya lobster dalam negeri, sebab dianggap benur yang diekspor akan lebih cepat mendapat hasil.
“Padahal jika lobster hasil (budidaya) jauh lebih besar, tapi bagi nelayan atau pembudiya yang ekonominya pas-pasan atau kecil, lebih cepat terima hasilnya,” terangnya.
Lebih lanjut, Yusri bilang, pembukaan ekspor BBL ini bisa membuka celah korupsi karena adanya kegiatan jual-beli kuota tangkapan benur antara eksportir dan pemberi izin.
“Kan Menteri KKP yang lama ditangkap KPK. Akhirnya kita akan muncul desakan untuk mencabut Permen KKP untuk ekspor benur,” pungkasnya.
Baca Juga: Ada Pejabat Indonesia Terlibat Suap Kasus Perusahaan Jerman, Begini Respons KPK
Untuk diketahui, di pasal 2 ayat (2) Permen KP 7/2024 menyebut kuota penangkapan BBL ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan potensi sumber daya Ikan (SDI) yang tersedia dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan serta tingkat pemanfaatan atas rekomendasi komisi nasional pengkajian SDI.
Berdasarkan Keputusan Menteri KP (Kepmen KP) Nomor 28 Tahun 2024, estimasi potensi jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan kuota tangkapan BBL dari 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), sebagai berikut:
Estimasi potensi BBL mencapai 465.793.021 ekor, sementara jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan kuota penangkapan benur sebanyak 419.213.719 ekor. Adapun BBL tersebut meliputi jenis mutiara, pasir dan sebagainya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News