Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. FOMC Meeting September yang digelar pada pekan ini bakal menjadi perhatian utama pelaku pasar. Pada kesempatan kali ini, pasar menantikan seperti apa arah kebijakan tapering Federal Reserve.
Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Katarina Setiawan mengatakan, sejauh ini pasar sudah jauh lebih siap menghadapi tapering tersebut, tidak seperti 2013 silam.
Maklum, di tahun 2013 adalah pertama kalinya sepanjang sejarah tapering dilakukan oleh The Fed, sehingga banyak ketidakpastian yang timbul di pasar dan diperparah dengan komunikasi The Fed yang tidak transparan.
Sementara untuk kali ini, ia melihat kondisinya jauh berbeda seiring pasar sudah memiliki gambaran bagaimana proses tapering akan dilakukan, belajar dari proses yang terjadi sebelumnya di 2013. Komunikasi dari The Fed saat ini juga lebih baik dalam memberi sinyal akan dilakukannya tapering sejak jauh hari sehingga memberikan transparansi dan ketenangan bagi pasar.
Baca Juga: Bursa Asia melemah menanti perkembangan isu tapering
“Hal ini tercermin di kondisi pasar yang tetap stabil di akhir Agustus setelah The Fed memberi sinyal rencana tapering di akhir tahun ini, sangat kontras dengan volatilitas pasar yang tinggi di Mei 2013,” kata Katarina dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Senin (20/9).
Apalagi, Katarani juga menyebut kondisi ekonomi saat ini juga relatif lebih baik dibandingkan kondisi pada tahun 2013 silam. Dalam menjelaskan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, dia memaparkannya melalui analisa SWOT (strength, weakness, opportunity, threat).
Dari sisi strength, ia bilang, Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang tetap stabil di tengah kondisi pandemi. Stabilitas makroekonomi merupakan faktor penting untuk menjaga daya tarik investasi di Indonesia.
Hal ini tercermin dari cadangan devisa pada level tertinggi sepanjang sejarah, dan surplus neraca perdagangan menjaga defisit neraca berjalan pada level rendah. Selain itu stabilitas makroekonomi juga didukung oleh kredibilitas pemerintah dan bank sentral yang krusial untuk menjaga keyakinan investor terhadap Indonesia.
Namun, dari weakness, menurutnya, tingkat vaksinasi masih jadi tantangan mengingat sejauh ini masih terpusat pada Jawa-Bali saja. Di luar Jawa-Bali, tingkat vaksinasi masih relatif rendah; ketersediaan vaksin dan distribusi menjadi tantangan utama. Selain itu pelemahan aktivitas ekonomi yang disebabkan oleh pandemi menyebabkan rasio perpajakan yang semakin menurun.
“Kondisi ini menjadi tantangan di tengah kebutuhan pembiayaan yang tetap tinggi untuk pemulihan ekonomi dan mitigasi pandemi,” imbuh Katarina.
Sementara dari sisi opportunity, Katarina menyebut, sektor new economy berpotensi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia. Tingginya potensi ekonomi digital Indonesia mendorong berbagai perusahaan teknologi untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia.
Selain ekonomi digital, Indonesia juga memiliki potensi di sektor energi terbarukan. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, bahan baku utama untuk baterai bagi kendaraan listrik (EV). Menurutnya, hal tersebut membuka peluang bagi Indonesia untuk memiliki peranan penting dalam rantai pasokan industri EV dunia ke depan.
Baca Juga: Mata uang euro dan poundsterling dinilai menarik di tengah isu tapering
Lalu dari sisi threat, reaksi pasar terhadap tapering The Fed akan jadi ancaman dalam jangka pendek. Walau begitu, Katarina meyakini, dengan pasar yang lebih siap menghadapi tapering, komunikasi The Fed yang lebih baik, dan kondisi makroekonomi domestik yang lebih baik dibanding 2013, risiko volatilitas pasar terkait tapering kali ini menjadi lebih rendah.
“Kami percaya pada daya tarik investasi di pasar Indonesia karena dukungan fundamental ekonomi yang baik, dan peluang di sektor-sektor ekonomi baru yang dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi ke depannya,” ungkapnya.
Dalam kondisi ini, Katarina melihat baik reksadana berbasis saham maupun reksadana berbasis obligasi sama-sama punya peluang yang menarik. Untuk yang berbasis saham, menurutnya, dalam siklus pemulihan ekonomi seperti saat ini akan diuntungkan dari potensi pemulihan ekonomi dan perbaikan kinerja emiten.
Sementara untuk kelas aset obligasi, ia menyebut instrumen tersebut menawarkan stabilitas yang didukung oleh era suku bunga rendah dan kebijakan fiskal pemerintah yang suportif bagi pasar obligasi.
“Pada akhirnya, keputusan investasi sebaiknya disesuaikan dengan profil risiko dan tujuan finansial investor karena kedua faktor tersebut akan lebih berpengaruh pada kinerja jangka panjang portofolio,” tutup Katarina.
Selanjutnya: IHSG ditutup melemah 0,93% ke 6.076,3 pada hari ini, asing lepas ARTO, BBRI, MLPL
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News