kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.889.000   43.000   2,33%
  • USD/IDR 16.800   4,00   0,02%
  • IDX 6.262   8,20   0,13%
  • KOMPAS100 896   3,65   0,41%
  • LQ45 707   -0,42   -0,06%
  • ISSI 194   0,88   0,46%
  • IDX30 372   -0,72   -0,19%
  • IDXHIDIV20 450   -1,01   -0,22%
  • IDX80 102   0,35   0,35%
  • IDXV30 106   0,47   0,45%
  • IDXQ30 122   -0,87   -0,70%

Ekonom: Masih ada risiko pada APBN-P


Selasa, 21 Juni 2016 / 19:39 WIB
Ekonom: Masih ada risiko pada APBN-P


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, postur sementara anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBN-P) 2016 lebih konservatif dibandingkan dengan APBN induk. Namun demikian, ia melihat masih beberapa risiko dari postur tersebut.

"Secara keseluruhan posturnya konservatif. Dari sisi pasar sudah cukup bagus dari yang sebelumnya. Ini sudah lebih realistis," kata David, Selasa (21/6).

David menilai, adanya kesepakatan antara Pemerintah dan DPR terkait target pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,2% lebih baik dibanding APBN induk yang sebesar 5,3%. Namun menurutnya, pemerintah masih perlu upaya keras untuk bisa mencapai target tersebut.

Dia menjelaskan, investasi yang porsinya 30% terhadap produk domestik bruto (PDB) harus ditingkatkan. Tak hanya itu, konsumsi rumah tangga yang menyumbang 50% terhadap PDB juga harus ditingkatkan dengan menjaga daya beli masyarakat dan menjaga harga kebutuhan masyarakat.

Dari sisi penerimaan pajak juga demikian. Meski secara total penerimaan pajak mengalami penurunan dibandingkan dengan APBN 2016, penerimaan pajak non migas tidak mengalami perubahan dengan APBN induk. Padahal lanjut David, kondisi ekonomi belum menunjukkan perbaikan berarti yang tercermin dari pertumbuhan kredit yang masih melambat.

"Oleh karena itu, tax amnesty harus dikawal. Kalau tidak, penerimaan pajak bisa bolong Rp 165 triliun," tambahnya.

Dari sisi belanja negara, David berharap pemangkasan belanja tidak terjadi pada belanja modal agar tidak mengurangi stimulus pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, walaupun porsi belanja pemerintah terhadap produk domesti bruto (PDB) hanya 8%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×