Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perlambatan dunia usaha semakin terlihat dari setoran pajak korporasi yang semakin tertekan di tahun ini. Setelah sektor pertambangan yang mulai tertekan karena adanya penurunan harga komoditas, kini giliran sektor perdagangan yang juga ikut tertekan.
Bahkan, berdasarkan catatan Kontan, sebanyak 6.401 wajib pajak sudah mengajukan permohonan angsuran PPh Pasal 25 sampai dengan 20 November 2023. Adapun sektor terbanyak yang memanfaatkan insentif tersebut adalah sektor perdagangan besar atas dasar balas jasa atau kontrak.
Mengutip data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total penerimaan PPh Badan hingga 15 Maret 2024 yang lalu terkoreksi cukup tajam yakni sebesar 10,61% menjadi Rp 55,91 triliun.
Celakanya, sektor strategis dari penerimaan tersebut terpantau cukup tertekan. Misalnya industri pengolahan yang terkontraksi 12,26% dan sektor perdagangan yang terkoreksi 0,19%. Kedua sektor tersebut berkaitan erat dengan sektor perdagangan besar yang paling banyak mengajukan diskon pajak pada tahun lalu.
Baca Juga: PPN dan PPh Jadi Pendongkrak Penerimaan Pajak Selama Momen Lebaran 2024
Selain itu, sektor pertambangan juga terkontraksi 26,76% yang merupakan imbas dari penurunan harga komoditas yang mempengaruhi aktivitas dunia usaha.
Berkaca dari kondisi tersebut, tak heran banyak perusahaan yang ramai-ramai mengajukan diskon pajak pada tahun lalu. Hal ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi global yang masih diselimuti ketidakpastian, mulai dari penurunan harga komoditas, perlambatan ekonomi global dan china yang memukul sektor manufaktur, hingga konflik geopolitik yang belum berkesudahan.
Sebagai informasi, berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-537/PJ/2000, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan besaran angsuran PPh Pasal 25 sesudah tiga bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak.
Nah, untuk mendapatkan pengurangan,, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya adalah pemohon dapat menunjukkan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar perhitungan besaran PPh Pasal 25.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo menyampaikan bahwa pihaknya akan memonitor pergerakan harga komoditas yang berdampak kepada penerimaan pajak, khususnya pajak penghasilan (PPh) Badan.
"Kami terus memonitor pergerakan harga komoditas terkait dengan sektor-sektor yang sangat sensitif dengan harga komoditas di antaranya sektor pertambangan dan sektor industri pengolahan," kata Suryo belum lama ini.
Di sisi lain, DJP Kemenkeu juga akan terus melakukan pengawasan untuk sektor-sektor yang memang tidak terpengaruh langsung dari harga komoditas.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa wajib pajak memang berhak mengajukan penurunan angsuran PPh 25, atau lebih dikenal sebagai dinamisasi.
Baca Juga: Sah! Pemerintah Resmi Cabut Aturan Barang Bawaan dari Luar Negeri
Namun, menurut Fajry, permohonan diskon angsuran PPh 25 tersebut banyak terjadi pada tahun lalu mengingat harga komoditas mengalami penurunan signifikan pada tahun 2023.
Apabila lonjakan permohonan diskon PPh 25 tersebut masih berlanjut di tahun 2024 ini, maka pemerintah perlu mewaspadai kondisi perekonomian Indonesia yang akan mempengaruhi aktivitas dunia usaha.
"Jika ini masih berlanjut sampai tahun 2024, maka pemerintah harus waspada dengan kondisi ekonomi kita. Kondisi korporasi sedang tidak baik-baik saja, omzet mengalami penurunan," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Selasa (16/4).
Dari sisi penerimaan negara, Fajry bilang, jika permohonan tersebut dikabulkan otoritas pajak, maka penurunan angsuran PPh 25 akan mengganggu kinerja penerimaan pajak pada tahun ini. Mengingat kontribusi dari PPh Badan yang besar dalam struktur penerimaan pajak.
Di sisi lain, jika benar terjadi peningkatan permohonan pengurangan angsuran PPh 25 pada tahun ini, maka hal ini menjadi hal yang menarik untuk dicermati mengingat data makroekonomi Indonesia yang sedang baik-baik saja.
"Memang, data kuartal I dari Badan Pusat Statistik (BPS) belum keluar, namun data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan optimisme konsumen, terakhir di keyakinan bulan Maret meningkat dari bulan sebelumnya. Ekonomi tahun 2024 ini juga banyak yang memproyeksikan akan lebih baik dari tahun lalu," jelasnya.
Menurut Fajry, pelemahan hanya terlihat dari sisi perdagangan Internasional. Pada bulan Februari 2024, nilai ekspor Indonesia turun 9,45%. Ini terjadi karena adanya pelemahan ekonomi dari mitra dagang Indonesia seperti China dan Jepang.
Sedangkan di tingkat domestik, pelemahan terjadi hanya pada penjualan kendaraan roda dua. Berdasarkan data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), penjualan motor tercatat sebanyak 1,15 juta unit pada Januari-Februari 2024 alias turun 3,36%.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menyadari bahwa perlambatan dunia usaha memang telah dikeluhkan oleh para pengusaha sejak akhir tahun 2023 lalu.
Baca Juga: Ekonom Sebut Momen Ramadan dan Lebaran Dongkrak Penerimaan Pajak
Di sisi domestik, hal ini dipicu oleh kekuatan daya beli masyarakat yang sejak awal tahun ini terperosok di tengah lonjakan harga pangan yang kian melejit dan angka pengangguran yang belum bisa turun ke level sebelum pandemi.
"Indikasi tertekannya daya beli ini bisa dicek dari angka inflasi inti yang dirilis oleh BPS awal tahun ini terperosok ke level terendah dalam beberapa tahun terakhir," terang Ariawan.
Penyebab lainnya adalah melemahnya nilai tukar rupiah sehingga harga-harga barang ikut meningkat. Menurut Ariawan, depresiasi Rupiah akan meningkatkan biaya industri yang mengimpor bahan baku, serta harga barang impor juga menjadi lebih mahal.
"Ini menjadi kendala bagi dunia usaha dalam mengembangkan usahanya," katanya.
Apalagi, pekan ini, Rupiah berada di level Rp 16.000 per dolar AS. Keadaan ini juga menyulitkan pelaku bisnis, terutama pebisnis importasi sehingga terjadi pelemahan permintaan di beberapa sektor yang akhirnya mempengaruhi kinerja korporasi di 2024 ini.
Tidak hanya itu, China juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi ekonomi Indonesia. Pelemahan permintaan dari China ini akan mempengaruhi ekosistem dunia usaha yang terlibat dalam proses ekspor tersebut.
Baca Juga: Konflik Iran-Israel Bakal Menambah Beban APBN
Kemudian, faktor lainnya yang menjadi ancaman dunia usaha di Indonesia adalah kondisi geopolitik yang semakin memburuk.
"Perang Ukraina belum kelar, kini ditambah ada eskalasi konflik Iran dan Israel. Ini juga akan berdampak bagi dunia usaha di dunia, termasuk di Indonesia," terang Ariawan.
Dirinya menyarankan pemerintah harus memberikan insentif dengan instrumen fiskal dan belanja pemerintah yang disesuaikan dengan tantangan lanskap ekonomi global.
"Misalnya, insentif perpajakan diarahkan kepada sektor-sektor usaha yang berpotensi terdampak akibat melemahnya permintaan," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News