CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Duh! Rasio Penerimaan Negara Sulit Mendaki Lebih Tinggi


Selasa, 07 Mei 2024 / 19:20 WIB
Duh! Rasio Penerimaan Negara Sulit Mendaki Lebih Tinggi
ILUSTRASI. Deretan gedung bertingkat di Jakarta dilihat dari ketinggian, Minggu (5/5/2024). (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerimaan negara pada tahun ini diperkirakan tidak akan mendaki lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasi tahun lalu.

Dalam laporan Fiscal Monitor April 2024, International Monetary Fund (IMF) memperkirakan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2024 hanya akan berada di angka 15,2%.

Celakanya, angka tersebut relatif tidak beranjak jika dibandingkan dengan rasio penerimaan negara pada tahun lalu yang berada pada level 15% terhadap PDB.

Sedangkan dibandingkan negara tetangga, rasio penerimaan negara kita masih jauh tertinggal. Misalnya saja rasio penerimaan negara Malaysia yang diproyeksikan mencapai 17,6% dari PDB dan Thailand 20,1% dari PDB.

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Bisa di Atas 5,11% Jika Konsumsi Masyarakat Tumbuh Optimal

Sementara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, pemerintah menetapkan target penerimaan negara mencapai Rp 2.802,3 triliun yang meliputi penerimaan pajak, bea dan cukai serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

IMF memandang, terbatasnya pertumbuhan penerimaan ke kas negara  ini dikarenakan adanya peningkatan kebutuhan belanja yang tidak diimbangi dengan kemampuan pemerintah dalam menggali potensi penerimaan negara.

"Proyeksi IMF didasarkan pada mempertahankan sikap fiskal netral ke depan disertai dengan kebijakan perpajakan yang moderat dan reformasi administrasi, beberapa realisasi belanja dan peningkatan belanja modal secara bertahap selama jangka menengah sejalan dengan ruang fiskal," tulis IMF dalam laporannya, dikutip Selasa (7/5).

Sejatinya, proyeksi IMF soal penerimaan negara pada tahun ini masih masuk akal. Pasalnya, hingga kuartal I-2024 ini saja penerimaan negara khususnya dari pos pajak masih seret.

Sepanjang Januari hingga Maret 2024,  realisasi penerimaan pajak hanya terkumpul Rp 393,9 triliun. Realisasi ini turun 8,8% dari penerimaan pajak periode sama tahun lalu sebesar Rp 431,9 triliun.

Sebaliknya, realisasi belanja negara telah mencapai Rp 611,9 triliun atau meningkat 18% dari periode sama pada tahun lalu. Jika kondisi tersebut tidak diantisipasi, maka risiko pelebaran defisit anggaran akan semakin terbuka lebar.

Sementara itu, pos bea dan cukai juga tak lebih baik dan membayangi pencapaian target yang tertuang dalam APBN 2024. Pasalnya, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai baru mencapai Rp 69 triliun atau 21,50% dari target. Penerimaan total terkontraksi 4,5% YoY terutama dari penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) dan bea masuk.

Baca Juga: Ekonom Indef Sebut Laju Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Kuartal I-2024 Tak Optimal

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Encep Dudi Ginanjar tak menampik adanya perlambatan penerimaan pada bea masuk dan cukai yang mempengaruhi tercapainya target penerimaan pada tahun ini. Kendati begitu, pihaknya akan terus mengoptimalkan kinerja fasilitas industri dan pengawasan untuk menjamin stabilitas ekonomi.

"Walaupun terdapat perlambatan di bea masuk dan cukai, kami tetap berupaya mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor kepabeanan dan cukai agar APBN dapat terus menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia," tutur Encep dalam keterangannya, Selasa (30/4) lalu.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet tampaknya sependapat denga proyeksi IMF. Menuturutnya, sekitar 80% sumber penerimaan negara saat ini banyak disumbang dari sisi perpajakan.

Oleh karena itu, jika mengacu pada proyeksi IMF maka faktor pajak menjadi alasan utama rasio penerimaan negara secara umum mengalami peningkatan yang relatif kecil atau marginal jika dibandingkan dengan posisi tahun 2023.

Yusuf bilang, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab penerimaan pajak melandai dibandingkan tahun lalu, salah satunya adalah penurunan harga komoditas.

"Sayangnya korelasi antara pajak dan harga komoditas itu relatif kuat sehingga ketika harga komoditas melandai ini juga akan ikut mempengaruhi menurunnya potensi penerimaan pajak itu sendiri," katanya.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan melambat pada tahun ini  juga akan ikut berpengaruh terhadap potensi penerimaan pajak yang akan didapatkan oleh otoritas terkait.

"Saya kira potensi untuk tercapainya target itu masih terbuka. Namun ini akan juga ditentukan bagaimana kondisi perekonomian terutama di semester kedua nanti," imbuhnya.

Sayangnya Yusuf tidak memiliki hitungan berapa angka ideal rasio penerimaan negara untuk negara berkembang. Namun idealnya, rasio penerimaan negara harus mengikuti atau bahkan lebih tinggi dari rasio belanja negara pada tahun berikutnya.

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky mengatakan bahwa tingginya angka informalitas kerja di Indonesia menyebabkan terbatasnya penerimaan yang bisa dikumpulkan oleh pemerintah.

"Memang salah satu hambatan utamanya adalah aspek informalitas. Jadi karena informalitas kita yang tinggi, serapan tenaga kerja yang kemudian bisa berkontribusi terhadap perpajakan pun juga relatif rendah dibandingkan negara lain," kata Riefky.

Asal tahu saja, pada Februari 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk Indonesia yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 84,13 juta orang atau setara 59,17% dari total penduduk bekerja.

"Ini menjadi salah satu alasan utama kita kemudian penerimaan negara kita relatif terbatas," kata Riefky.

Di sisi lain, dirinya juga menilai terbatasnya penerimaan negara juga disebabkan oleh otoritas fiskal yang kurang agresif dalam menggali potensi penerimaan negara, khususnya dari pos pajak.

"Tentu ada aspek di situnya, bahwa memang perlu peningkatan dari sisi tingkat aktifnya pemerintah dalam menggali potensi penerimaan pajak, tapi salah satu alasan utamanya memang dikarenakan informalitas," imbuh Riefky.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×