Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak mau gegabah membatasi impor tembakau. Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pertembakauan yang kini kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018 masih akan melihat berbagai perkembangan yang terjadi di lapangan.
Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pertembakauan, Hendrawan Supratikno, mengakui salah satu yang menjadi bahan pertimbangan Dewan adalah blunder yang muncul akibat lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau.
Politisi PDI Perjuangan tersebut menjelaskan saat ini Permendag 84 tahun 2017 yang seyogyanya berlaku pada 8 Januari 2018 ditunda pelaksanaannya oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution.
“Kami harus realistis dalam membuat undang-undang dan mengacu kenyataan sehingga tidak bisa saklek begitu. Kita harus membudidayakan tembakau jenis virginia dan ada upaya sistematis agar tembakau jenis tertentu bisa ditanam di Indonesia," kata Hendrawan usai Rapat Pansus Undang-Undang Pertembakauan pada pekan lalu.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Firman Subagyo menambahkan, setiap undang-undang, termasuk di bidang pertembakauan tidak boleh diskriminasi. Apalagi, sektor ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap penerimaan negara.
Belum lagi mereka yang anti tembakau juga bekerja secara sistematik. Menurut Firman, berbagai kampanye negatif mengenai produk tembakau sangat sarat dengan kepentingan.
Kementerian Perdagangan telah menerbitkan Permendang Nomor 84, namun sejumlah pihak menilai aturan tersebut memiliki berbagai kelemahan. Salah satu yang paling fatal adalah pembatasan impor tembakau jenis virginia, burley, dan oriental.
Padahal, produksi virginia dan burley masih sangat minim. Bahkan, tembakau oriental sama sekali tidak diproduksi di dalam negeri. Akibatnya, aturan ini berpotensi mengganggu pasokan bahan baku sehingga menurunkan produksi rokok di tanah air.
Penurunan produksi tersebut akan turut memangkas penyerapan tembakau petani lokal yang selama ini menjadi bahan baku campuran yang berpotensi pada peningkatan kemiskinan petani dan pemutusan hubungan kerja. Situasi ini juga akan turut mengancam penerimaan negara yang kini sedang dikejar pemerintah untuk membiayai pembangunan.
I Ketut Budiman, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia menambahkan penurunan produksi rokok juga akan berimbas terhadap petani komoditas ini. “Sebagian besar rokok kretek ada bahan baku cengkeh dan menjadi bahan baku utama,” kata Ketut.
Jika produksi rokok turun, serapan cengkeh akan turun juga. Saat ini, 93% dari total 120.000 ton cengkeh diserap oleh pabrik rokok. Adapun sisanya untuk kebutuhan farmasi dan ekspor.
Menurut dia, sebelum menetapkan pembatasan impor pemerintah maupun DPR harus memiliki data yang valid. Dengan demikian, peraturan yang ditetapkan tidak mendatangkan dampak yang negatif.
Ketua Umum Komunitas Kretek Adityo Purnomo, menegaskan ketersediaan tembakau virginia di lapangan masih sedikit, sehingga perlu dilakukan impor untuk menutupi defisit. Tembakau virginia lebih banyak digunakan untuk rokok mild. "Impor bisa diminimalisir, tetapi sebelum itu terjadi atau kebutuhan akan tembakau virginia tercukupi, pembatasan impor belum bisa dilakukan," tegas Adityo.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2015, luas areal tanaman tembakau virginia hanya 28.949 hektare. Luas lahan ini setara dengan 13,38% dari total luas areal pertanian tembakau di Indonesia. Sementara produksinya hanya 38.371 ton atau hanya 19,8% dari total produksi tembakau nasional.
Untuk tembakau jenis burley, areal dan produksinya lebih kecil lagi. Luas lahan tembakau jenis ini paling banyak tersebar di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Adapun jenis oriental, belum bisa dikembangkan di Indonesia, sehingga harus mengimpor dari negara-negara Timur Tengah, seperti Turki.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News