kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,46   -17,27   -1.86%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

DPR mendorong kesiapan BPJPH lakukan sertifikasi halal


Senin, 23 Desember 2019 / 19:51 WIB
DPR mendorong kesiapan BPJPH lakukan sertifikasi halal
ILUSTRASI. Suasana pengumuman produk lemari es Sharp bersertifikat halal di Jakarta (3/5). DPR mendorong kesiapan BPJPH lakukan sertifikasi halal.


Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily, mendorong agar proses pengurusan sertifikasi halal tidak berbelit-belit dan memiliki prosedur yang jelas. Serta harus ada klasifikasi jenis usaha yang akan mengurus sertifikasi tersebut.

Ace menilai, kewajiban sertifikasi ini memiliki tujuan yang baik, yakni agar dapat meningkatkan geliat perekonomian dunia usaha. Serta tercapainya hak konsumen mendapatkan produk halal.

Baca Juga: BPJPH terbuka menerima sertifikasi halal asing dengan sejumlah syarat

Tidak hanya itu, DPR juga mendorong kesiapan Badan Penyelengaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam proses sertifikasi tersebut. Diantaranya terkait auditor halal dan tarif proses pengurusan sertifikasi halal.

"Jadi ada saling menguntungkan antara produsen dan konsumen. Keinginan kami Komisi VIII, UMKM dibebaskan dari segala bentuk biaya (pengurusan sertifikasi halal)," kata Ace ketika dihubungi, Senin (23/12).

Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik & Hubungan Antar Lembaga, Gabungan Pengusaha Makanan & Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Rachmat Hidayat, mengatakan, sebelum menerapkan aturan wajib sertifikasi halal, pemerintah perlu membenahi beberapa aspek terlebih dahulu.

Pertama, kesiapan auditor halal. Rachmat mengatakan, saat ini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) belum mempersiapkan dengan baik jumlah auditor halal.

Baca Juga: Perlakuan Setara Atas Sertifikasi Halal Asing

Rachmat mengatakan, saat ini terdapat sekitar 1,7 juta pelaku UMKM makanan dan minuman yang ada. Jika dalam waktu lima tahun kedepan seluruh UMKM itu diwajibkan memiliki sertifikasi halal, maka sertifikat halal yang mesti dikeluarkan per harinya sebanyak 1.100 sertifikat per hari atau 33.000 sertifikat per bulan.

Rachmat menilai hal ini mungkin saja bisa dilakukan. Akan tetapi, pemerintah perlu berkaca pada Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) yang selama 30 tahun baru menerbitkan 60.000 sertifikat halal.

Artinya, untuk mengejar target wajib sertifikasi itu, pemerintah membutuhkan 66.000 auditor halal yang memiliki sertifikat profesi. "Untuk melakukan sertifikasi halal itu step nya adalah sediakan auditor nya terlebih dahulu, ngga bisa terbalik," kata Rachmat, Senin (23/12).

Kemudian, pemerintah seharusnya memperbaiki sistem keamanan pangan dan cara memproduksi pangan yang baik terlebih dahulu. "Keamanan pangan itu masih jadi PR (pekerjaan rumah) di Indonesia," ucap dia.

Baca Juga: Soal jaminan produk halal, BPJPH masih tunggu tarif UMKM dari Kemenkeu

Rachmat mengatakan, jika semua UMKM khususnya yang berada di daerah diwajibkan memiliki sertifikat halal, dikhawatirkan akan menggangu jalannya perekonomian di daerah. Jika sudah seperti itu, Ia menilai wajib sertifikasi halal hanya menguntungkan pelaku usaha besar dan pelaku usaha luar negeri yang masuk ke Indonesia.

"Indonesia akan jadi pasar karena industri nya ngga sanggup untuk mendapatkan sertifikat halal, bukan cuma biaya tapi ngga sanggup secara teknis juga, sementara kita untuk mencapai tingkat keamanan pangan saja kita masih PR," ujar dia.

Oleh karena itu, Gapmmi mengusulkan adanya revisi pasal 4 UU nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal. Dari yang sebelumnya berbunyi "Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal." Menjadi "Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia harus sesuai norma, agama dan budaya yang berlaku serta wajib bersertifikat halal bagi yang menyatakan dan/atau mengklaim kehalalan."

Gapmmi khawatir, kewajiban sertifikasi halal ini nantinya malah menimbulkan masalah baru. Misalnya, UMKM mencantumkan logo produk halal palsu. "Orang cari selamat dulu, pasang logo halal nanti kan cek sertifikatnya belakangan," ujar dia.

Baca Juga: Bisnis Perawatan Tubuh Makin Ajib

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, mengatakan, perkembangan industri halal di Indonesia masih terus berputar-putar pada persoalan sertifikasi halal. Bahkan, sampai pada stagnasi pendaftaran sertifikasi halal karena BPJPH yang bersikeras tetap mengambil alih pendaftaran sertifikasi halal, padahal belum siap.

IHW menilai Keputusan Menteri Agama nomor 982 tahun 2019 tentang layanan sertifikasi halal sebagai bentuk diskresi untuk melaksanakan UU nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) sudah tepat. Hal ini agar UU JPH dapat dijalankan sekalipun BPJPH dan infrastruktur lainnya belum siap.

"UU JPH tetap dapat dijalankan dengan memberikan kewenangan kepada LPPOM MUI yang selama ini telah menjalankan fungsi tersebut," kata Ikhsan.

Baca Juga: Ketentuan wajib halal, industri kosmetik diberi masa pembinaan 7 tahun

Ikhsan mengatakan, yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah bagaimana Indonesia dapat menikmati keuntungan dari perdagangan industri halal dan Indonesia menjadi industri utama dunia dalam perdagangan produk halal.

"Karena sertifikasi halal itu hanya salah satu instrumen saja," ujar Ikhsan.

Baca Juga: Wakil Menteri Agama akan koordinasikan pelaksanaan jaminan produk halal

Sebagai informasi, berdasarkan data Global Islamic Economy Indicator 2018/2019, Indonesia menempati posisi utama sebagai negara konsumen terbesar yang membelanjakan hampir 170 miliar USD per tahun untuk produk halal. Artinya, bila dapat memasok kebutuhan sendiri, maka Indonesia akan menghemat devisa sebesar Rp 2.465 triliun per tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×