kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Ditjen Pajak: RUU KUP tidak bisa dipisahkan dari agenda reformasi pajak


Selasa, 13 Februari 2018 / 20:22 WIB
Ditjen Pajak: RUU KUP tidak bisa dipisahkan dari agenda reformasi pajak
ILUSTRASI. Peserta Wajib Pajak Bayar Pajak


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sofyan Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kalangan usaha merespon negatif draf revisi Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP) lantaran pasal-pasal yang direvisi cenderung lebih memberatkan wajib pajak (WP).

Sejatinya, RUU ini merupakan salah satu agenda dalam reformasi perpajakan yang tengah didorong oleh pemerintah. Namun demikian, kalangan usaha menilai pemerintah perlu fokus terhadap reformasi pajak yang di luar UU, seperti memperbaiki sumber daya manusia (SDM), organisasi, sistem teknologi informasi (IT), dan proses bisnis.

Direktur P2 Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, RUU KUP tidak bisa dipisahkan dari agenda reformasi pajak. “Reformasi seyogyanya bersifat komprehensif, jadi termasuk aspek regulasi atau kebijakan juga karena perbaikan-perbaikan di bidang lainnya juga perlu penyesuaian regulasi,” kata Hestu kepada Kontan.co.id, Selasa (13/2).

Kendati begitu, pihaknya masih menunggu pembahasan di Komisi XI DPR. “Kami mesti menunggu dinamika pembahasan di parlemen,” ujarnya.

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center Ajib Hamdani menyatakan, salah satu pasal yang memberatkan pembayar pajak adalah di pasal 59. Dalam pasal tersebut, tercantum ketentuan yang memungkinkan aparatur pajak (fiskus) melakukan pemeriksaan berulang di tahun pajak yang sama.

Pasal itu dinilai tidak cocok dengan filosofi pajak self assesment di Indonesia. Dalam prinsip self assesment, WP dianggap benar sampai masa daluwarsa pajak selesai atau ditemukan data atau laporan WP tidak benar.

"Sebuah ketetapan yang telah diterbitkan oleh Kantor Pajak, dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah sebuah koreksi penghitungan pajak secara self assesment oleh WP. Tapi dalam RUU yang baru, kita bisa diberikan SKP lagi sehingga kepastian hukum tidak ada," kata Ajib kepada Kontan.co.id.

Ajib juga keberatan dengan kewajiban pembayaran pajak yang tidak bisa ditunda, meskipun pembayar pajak mengajukan keberatan. Ini tercantum di pasal 68 RUU KUP. Selain itu, hukuman bagi pembayar pajak juga makin berat baik pidana maupun denda.

Selain soal sanksi berat, pengusaha juga keberatan dengan pasal penanggung pajak terutang baik orang pribadi atau badan sebagai pemegang saham langsung maupun tidak langsung, serta orang pribadi atau badan usaha.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, kesan dalam rancangan RUU KUP ini masih government-centered atau memihak pada pemerintah.

“Rancangan RUU ini keras dibanding KUP yang ada, harusnya ini diperjelas bukan secara direct ditonjolkan pidananya karena wajib sudah pintar. Misalnya pemidanaan wajib pajak yang lalai atau sengaja tidak daftarkan NPWP,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×