kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ditjen Pajak kejar syarat pertukaran data ajak


Senin, 27 November 2017 / 11:38 WIB
Ditjen Pajak kejar syarat pertukaran data ajak


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - MANADO. Batas waktu implementasi kerjasama pertukaran informasi perpajakan otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI) memang masih setahun lalu. Namun Indonesia masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah (PR) persyaratan yang harus dipenuhi agar lolos mengikuti AEoI.

Jika gagal, Indonesia bakal tersisih dari penerapan AEoI sehingga tidak bisa memburu wajib pajak nakal yang bersembunyi di luar negeri.

Persyaratan itu adalah Indonesia harus lolos tiga assessment yang dimulai bulan ini. Kepala Sub Direktorat Pertukaran Informasi Perpajakan Internasional, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu), Leli Listianawati memaparkan, dua assessment adalah untuk AEoI dan satu assessment untuk Exchange of Information (EoI) on Request. Ketiga hal itu sama-sama berkaitan dengan pelaksanaan pertukaran data perpajakan.

Untuk AEoI, Indonesia sedang dan sudah melalui assessment on confidentiality and data safeguards dan assessment on legal assessment. Indonesia sudah menjawab sejumlah kuesioner dan asesor sudah membuat draf laporan. "Draf laporan itu akan dibahas pada AEoI Group pada Desember 2017," kata Leli kepada KONTAN, Sabtu (25/11).

Untuk memenuhi assessment ini, pemerintah sudah memiliki Undang-Undang (UU) No 9/2017 tentang Pengesahan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk Kepentingan AEoI. "Berdasarkan draf penilaiannya, kita sudah sesuai standar. Hasil resmi dibahas Desember nanti di San Marino. Saya yakin akan lolos," jelas Leli.

Untuk EoI on Request, Indonesia juga sudah dan sedang menjalani Peer Review Assessment dan Indonesia sudah menjawab semua kuesionernya. Tahap selanjutnya adalah on site visit oleh asesor pada November ini.

Setelahnya, asesor dari global forum OECD akan membuat draft report yang akan dibahas di Peer Review Group Meeting pada Juni 2018. Dalam assessment EoI by request ini, OECD memiliki standar baru, yakni adanya aturan komprehensif untuk bisa mengakses beneficial ownership (BO). Sejauh ini Indonesia belum punya aturan yang memadai untuk akses BO secara menyeluruh.

Tergantung presiden

Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menyatakan, PPATK sebagai inisiator beserta instansi terkait sudah menyelesaikan perpres BO. Saat ini, peraturan itu tinggal menunggu diteken Presiden Joko Widodo.

Sebelumnya, Indonesia punya batas waktu hingga April 2018 guna memiliki aturan BO. "Secara substantif, saya kira sudah tidak ada isu lagi mengenai Perpres BO ini. Tinggal proses legal teknis saja, mudah-mudahan tidak lama lagi keluar," jelas Dian, akhir pekan lalu.

Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan Bappenas Diyani Sadyawati menerangkan, isi Perpres BO mencakup ketentuan dan langkah-langkah transparansi yang harus dipatuhi oleh seluruh pelaku industri. Perpres juga memperluas cakupan dan menggabungkan aturan-aturan yang sudah dimiliki Indonesia soal BO. Selama ini, ketentuan BO hanya berlaku di sektor keuangan dan masih tersebar di tiap kementerian/lembaga.

Setelah perpres ini terbit, pemerintah akan merevisi sejumlah aturan lainnya agar sejalan dengan transparansi BO. Salah satu kajian revisi yang disiapkan adalah UU Perbankan.

Perubahan aturan juga akan dilakukan di ranah Kementerian Hukum dan HAM dalam rangka pendaftaran usaha. Aspek ini akan karena selama ini lebih bersifat pasif atau hanya dari notaris. Revisi UU Badan Usaha juga akan lebih dipertajam lagi untuk BO agar terbuka dan dapat diakses oleh publik.

Untuk dua revisi UU ini, Diyani menyatakan, sudah ada pembicaraan dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan PPATK. "Jadi kami harapkan dengan masih banyaknya UU yang masih jalan sendiri-sendiri dengan signifikansi ini akan memperjelas transparansi BO di Indonesia," jelas Diyani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×