kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.305.000   42.000   1,86%
  • USD/IDR 16.643   -15,00   -0,09%
  • IDX 8.174   -10,34   -0,13%
  • KOMPAS100 1.138   -5,82   -0,51%
  • LQ45 833   -3,84   -0,46%
  • ISSI 282   -1,65   -0,58%
  • IDX30 438   -2,26   -0,51%
  • IDXHIDIV20 505   -3,80   -0,75%
  • IDX80 128   -0,78   -0,61%
  • IDXV30 136   -1,94   -1,41%
  • IDXQ30 139   -0,86   -0,61%

Data E-Wallet Hingga Mata Uang Digital Bakal Masuk Radar Pajak Mulai 2026


Kamis, 30 Oktober 2025 / 16:39 WIB
Data E-Wallet Hingga Mata Uang Digital Bakal Masuk Radar Pajak Mulai 2026
Dirjen Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto. Direktorat Jenderal Pajak menegaskan bahwa mulai 2026, pertukaran informasi keuangan antarnegara secara otomatis (AEOI) akan diperluas.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.  Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan bahwa mulai tahun 2026, pertukaran informasi keuangan antarnegara secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEOI) akan diperluas. 

Langkah ini mencakup rekening produk uang elektronik (e-money) dan mata uang digital bank sentral (Central Bank Digital Currency/CBDC).

Perluasan AEOI ini merupakan bagian dari implementasi Amendments to the Common Reporting Standard (Amended CRS) yang ditetapkan oleh OECD. 

Indonesia sendiri telah menandatangani Addendum to the CRS Multilateral Competent Authority Agreement (CRS MCAA) pada 19 November 2024, menandai komitmen untuk mengadopsi standar pelaporan keuangan global terbaru mulai 2026, dengan pertukaran data dilakukan pada 2027.

Baca Juga: Menkeu Purbaya: Jangan Naikkan Pajak Saat Lesu, Itu Bisa Bikin Resesi!

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto melalui PENG-3/PJ/2025 menjelaskan bahwa DJP tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar hukum implementasi standar baru tersebut. 

Dalam rancangan kebijakan ini, jenis rekening yang wajib dilaporkan tidak hanya rekening bank, tetapi juga produk uang elektronik tertentu dan mata uang digital bank sentral.

Kebijakan ini mendapat apresiasi dari para konsultan pajak. Konsultan Pajak Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, menilai langkah ini akan menjadi terobosan besar bagi pengawasan dan penggalian potensi perpajakan di Indonesia. 

Ia menambahkan, Bank Indonesia pada Agustus 2025 telah menyiapkan payment.id, sebuah laman nasional untuk mencatat seluruh transaksi digital. Meski peluncurannya sempat tertunda, infrastruktur data sudah siap dimanfaatkan DJP.

“DJP hanya membutuhkan payung hukum untuk meminta data-data tersebut. Dengan PMK yang memberi dasar hukum pengambilan data transaksi keuangan, DJP dapat mengakses informasi dari berbagai pelaku bisnis, termasuk penyedia dompet digital dan platform pembayaran,” ujar Raden kepada Kontan.co.id, Kamis (30/10/2025).

Baca Juga: Karyawan Hotel dan Restoran Bebas Pajak Hingga Akhir 2025

Raden juga menyoroti pentingnya masuknya data CBDC. Menurutnya, data ini akan memperkaya analisis DJP dalam menilai kemampuan bayar wajib pajak, sehingga kesalahan perhitungan kemampuan bayar yang sering terjadi dapat diminimalkan. 

Ia berharap DJP memanfaatkan profil wajib pajak secara menyeluruh, bukan hanya fokus pada potensi pajak semata.

Selain pengawasan, keterbukaan data transaksi juga diyakini meningkatkan kepatuhan pajak. Dengan sistem terintegrasi seperti Coretax, DJP dapat mendeteksi saldo atau transaksi keuangan yang tidak dilaporkan di SPT Tahunan.

Pengamat Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, memberikan apresiasi terhadap langkah pemerintah ini. Ia menekankan, masyarakat tidak perlu khawatir soal keamanan data karena sistem AEOI telah terbukti aman. 

Kebijakan ini, menurut Fajry, justru mendukung kepentingan wajib pajak dan memperkuat basis pajak nasional.

Baca Juga: Menkeu Purbaya: Saya Naikkan Pajak Kalau Ekonomi Tumbuh di Atas 6%

Fajry menambahkan, potensi penerimaan pajak dari integrasi data digital akan bergantung pada dua faktor utama: seberapa luas e-money dan rupiah digital digunakan, terutama di sektor informal, serta regulasi yang berlaku. 

Ia mencontohkan, sektor informal selama ini sulit dijangkau karena kendala regulasi, seperti tidak adanya kewajiban menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau fasilitas PPN tertentu.

“Untuk angka potensi penerimaan, memang sulit menentukan secara akurat, terutama dari sektor informal,” pungkas Fajry.

Selanjutnya: 6 Kesalahan yang Memperlambat Metabolisme Anda, Bikin Berat Badan Susah Turun

Menarik Dibaca: 6 Kesalahan yang Memperlambat Metabolisme Anda, Bikin Berat Badan Susah Turun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU

[X]
×