kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.986.000   17.000   0,86%
  • USD/IDR 16.849   58,00   0,34%
  • IDX 6.665   51,08   0,77%
  • KOMPAS100 962   9,64   1,01%
  • LQ45 749   7,30   0,98%
  • ISSI 212   1,35   0,64%
  • IDX30 389   3,65   0,95%
  • IDXHIDIV20 468   3,39   0,73%
  • IDX80 109   1,15   1,07%
  • IDXV30 115   1,36   1,20%
  • IDXQ30 128   1,01   0,79%

Dari kelas teri sampai kakap, semua Terkena


Kamis, 07 Mei 2015 / 10:15 WIB
Dari kelas teri sampai kakap, semua Terkena
ILUSTRASI. Produk Hatten Wines - PT Hatten Bali Tbk (WINE).


Reporter: Andri Indradie, Merlina M. Barbara, Oginawa R Prayogo, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Sudah beberapa bulan ini, Kushadi terpaksa kehilangan pendapatan tokonya hingga 10%. Pria 55 tahun yang sudah berdagang di wilayah Matraman sejak 1982 silam ini harus memangkas margin agar dagangannya tetap laku. Demikian pula Bu Eli, pemilik toko kelontong tak jauh dari Pasar Jatinegara. Keluhan mereka sama: kenaikan harga.

Harga-harga yang membubung bikin daya beli masyarakat jadi surut. Tak hanya itu, banyak harga kebutuhan pokok juga tak stabil. Menurut Kushadi, ini terjadi sejak pemerintah mencabut subsidi premium dan menetapkan subsidi tetap pada solar dan minyak tanah. Alhasil, biaya transportasi naik. Ujung-ujungnya, merembet ke berbagai harga kebutuhan pokok pula.

Sebut saja, satu slop rokok yang sudah naik Rp 2.000 atau satu kotak isi 48 minuman kemasan gelas yang kini menjadi Rp 16.000. Dus, Kushadi terpaksa merogoh kocek lebih dalam untuk belanja barang dagangannya, seperti yang dialami Bu Eli. “Untuk beli dagangan paling laris seperti rokok, saya harus keluarkan sampai Rp 1 juta sekali belanja,” ujar Kushadi.

Eli, 49 tahun, menambahkan, harga yang berubah-ubah juga membikin repot. Perubahan sangat cepat, misalnya terigu dan minyak yang sekarang sudah turun. Harga terigu turun dari Rp 145.000 per bal alias 25 kilogram (kg) menjadi Rp 142.000 per bal. Sebelumnya, terigu malah pernah menyentuh Rp 180.000-an per bal. Sedangkan, minyak curah turun Rp 10.000 dari Rp 160.000 per kaleng ukuran 17 kg menjadi Rp 150.000 per kaleng.

Tapi, lanjut Eli, harga telur dan gula masih tinggi. Dia beli telur yang tadinya Rp 15.000 per kg jadi Rp 17.500 per kg. Harga gula yang tadinya Rp 11.000 per kg, sekarang Rp 13.000 per kg. “Saya juga bingung, kenapa harga sering naik-turun. Yang sering berubah itu telur, gula, dan beras,” tutur Eli yang biasa mengumpulkan omzet sehari Rp 350.000, kini tinggal Rp 100.000 hingga Rp 200.000.

Sedangkan, pedagang kelas menengah, seperti Sari Yuniningrum yang punya usaha minimarket bernama W-Mart, juga demikian. Menurutnya, strategi menurunkan keuntungan sudah jadi hal wajar di tengah merosotnya daya beli masyarakat agar dagangan tetap laku. Apalagi, kata Sari, per 12 April lalu, semua distributor mulai mengerek harga.


Berharap hari raya

Alhasil, Sari pun menggunting harga-harga produk di W-Mart. Contohnya, kalau harga gula di Ranch Market Rp 21.000 per kg. “Di W-Mart, kami kasih Rp 19.500 per kg. Dengan demikian, bisnis kami pun jalan walaupun tingkat pengunjung yang datang tetap stabil,” cetus Sari.

Meski tak menyebut omzet, Sari bilang, pendapatan gerai W-Mart di Cibubur Country mulai menurun. Toko ini adalah satu dari dua gerai milik Sari di samping W-Mart yang terletak di Cikeas Legenda Wisata, Bogor, Jawa Barat.

Kushadi yang tinggal di Jalan Tegalan Matraman, Jakarta, memang tak mengerti soal pelemahan rupiah terhadap dollar AS, inflasi Maret 6,38% year on year, atau istilah-istilah seperti BI rate yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) 7,5% 4 April lalu, atau pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditargetkan sebesar 5% tahun ini. Tapi, dia penasaran apakah nasib menciutnya pendapatan hanya dialami oleh pedagang-pedagang kecil seperti dia?

Jawabannya, tidak!  Berkurangnya penjualan dan pendapatan bukan hanya terjadi sektor ritel kelas teri, melainkan pun dialami perusahaan-perusahaan kakap sepanjang kuartal pertama tahun ini.

Bahkan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Pudjianto mengatakan, tahun ini merupakan tahun yang sangat berat bagi industri ritel di Indonesia. “Semuanya turun. Tahun ini bisa tumbuh 6%–7% sudah bagus sekali,” kata Pudjianto, yang juga Komisaris Grup Alfa (Alfamart, Alfamidi, Alfa Express, Lawson). Catatan saja, tahun lalu, perusahaan-perusahaan kakap ini masih bisa mencatat pertumbuhan lumayan tinggi (lihat tabel kinerja ritel).

Biasanya, penjualan industri ritel mencatatkan angka pertumbuhan hingga dua angka alias tumbuh sekitar 12%–15%. Tahun ini, Pudjianto berkisah, pertumbuhan itu akan sulit dicapai. Ia memprediksi, tahun ini penjualan ritel bakal tumbuh antara 6%–7% saja. Wakil Sekjen Aprindo Satria Hamid menambahkan, sinyal penurunan sebenarnya bermula sejak mendekati akhir tahun lalu.

Alhasil, menjelang tahun berakhir, asosiasi beranggotakan 17 perusahaan department store, lima minimarket, satu perkulakan, satu hipermarket, dan 21 perusahaan supermarket itu pun terpaksa memangkas proyeksi pendapatan dari Rp 175 triliun menjadi Rp 168 triliun. Artinya, pertumbuhan yang tadinya diharapkan mencapai 15%, dipangkas tinggal 10% saja. Hasilnya, pendapatan industri tahun lalu hanya Rp 150 triliun.

Penyebabnya, tak lain datang dari pelemahan rupiah terhadap dollar AS. Di samping itu, kebijakan bahan bakar minyak (BBM) pemerintah, naiknya tarif dasar listrik, upah minimum regional yang setiap kali dituntut naik, serta biaya distribusi yang kian tinggi, juga merupakan biang bisnis sektor ritel terpukul.

PT Hero Supermarket Tbk, misalnya. Dibandingkan rapor kinerja periode yang sama tahun lalu, tiga bulan pertama tahun ini, memerah. Pemilik Giant Extra, Supermarket Hero, Giant Express, Guardian, serta Starmart ini merugi Rp 33,19 miliar. Padahal, tahun lalu, Hero masih bisa mencetak laba bersih Rp 55,34 miliar, lo.

Presiden Direktur Hero Supermarket Stephane Deutsch menyebut, penyebab utama kerugian adalah tingginya biaya. Pendapatan bersih memang tumbuh dari Rp 3,13 triliun menjadi Rp 3,57 triliun, namun beban pokok pendapatan naik dari Rp 2,37 triliun jadi Rp 2,77 triliun. Sementara, laba kotor per Maret tahun ini Rp 800,87 miliar atau naik dari Rp 752,20 miliar. Hanya saja, beban usaha juga naik, dari Rp 746,86 miliar menjadi Rp 879,69 miliar.

Sampai akhir Maret 2015, Hero mempunyai 53 Giant Extra, 161 Supermarket Hero dan Giant Expres, 340 Guardian, satu IKEA, dan 150 Starmart. Hero, kata Stephane, sudah menetapkan berbagai kebijakan untuk mengerek penjualan dan mengendalikan biaya, berikut menutup beberapa gerai yang tak menguntungkan. “ Ini diharapkan membantu meningkatkan kinerja tahun ini,” ujar Stephane Duetsch dalam siaran pers, Selasa (28/4).

Selain Hero, beberapa perusahaan ritel tampaknya bakal menerapkan strategi konservatif, misalnya soal penambahan gerai. Sepanjang tahun lalu, gerai industri ritel masih tumbuh di angka rata-rata antara 9%–14%. Tahun ini, sepertinya bakal tumbuh hanya di kisaran 5%–6% (lihat tabel pertumbuhan gerai).

Tahun ini, menurut Satria yang juga menjabat Manajer Umum Komunikasi Carrefour, perusahaan di bawah bendera grup milik Chairul Tanjung ini akan menambah sekitar 10 gerai, baik kelas hipermarket, perkulakan, maupun supermarket. Meski enggan membahas angka kinerja, Satria menyebut, jumlah gerai akhir Maret tahun ini sekitar 88 Carrefour dan satu perkulakan (wholesale).

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta berpendapat, hingga akhir tahun ini dua hal yang bisa menolong industri ritel adalah hari raya dan libur sekolah. Dengan efisiensi, kebijakan pemerintah mengatasi pelemahan rupiah, serta strategi pemasaran jitu, Tutum optimistis akselerasi kinerja industri ritel bisa lebih cepat setelah masa suram tiga bulan pertama tahun ini. “Hari raya dan libur sekolah bisa mendongkrak penjualan hingga 15%,” proyeksi Tutum.

Lalu, apa yang kira-kira harus dilakukan Kushadi, ya?    

Laporan Utama
Mingguan KONTAN No. 32-XIX,2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM) Negotiation Mastery

[X]
×