Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak dari wabah virus corona (Covid-19) secara perlahan mulai berimbas terhadap tingkat kemiskinan dan ketimpangan, terlebih dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Fajar B. Hirawan menilai, Indonesia akan mengalami guncangan yang hebat pada tingkat kemiskinan dan ketimpangan akibat pandemi Covid-19 ini.
"Berhentinya atau berkurangnya aktivitas ekonomi akibat penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sudah dapat terasa serta berimbas pada penerimaan perusahaan dan pendapatan masyarakat," ujar Fajar kepada Kontan.co.id, Selasa (14/4).
Baca Juga: BI ramal pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sebesar 2,3%
Fajar melanjutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terjun bebas di kisaran 0-2% tampaknya juga cukup untuk meningkatkan ketimpangan dan tingkat kemiskinan Indonesia di angka dua digit.
Ia menjelaskan, pada saat wabah SARS di tahun 2002-2003 dan MERS di tahun 2012-2013, dampaknya dirasa tidak terlalu besar terhadap tingkat kemiskinan dan ketimpangan.
"Pada September 2013 memang terjadi kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 11,46% dari sebelumnya 11,36% di bulan Maret 2013. Pandemi Covid-19 sepertinya akan berdampak lebih hebat dibandingkan kedua wabah tersebut," paparnya.
Namun, Fajar menilai, stimulus fiskal yang diberikan sebesar Rp 405,1 triliun merupakan langkah awal yang bagus untuk meredam kenaikan tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang lebih ekstrem.
Hanya saja, menurut Fajar, alokasi angaran sebesar Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial memang seharusnya perlu ditingkatkan lagi, khususnya untuk skema bantuan langsung tunai (BLT).
Alasannya, karena akan ada masyarakat yang tadinya belum masuk ke zona miskin menjadi masuk ke zona miskin akibat wabah Covid-19. Selain itu, pemutakhiran data oleh Kemensos dan lembaga terkait juga perlu dipercepat, sehingga imbas Covid-19 dapat diminimalkan.
"Mengenai skema yang tepat terkait BLT, saya pribadi cenderung lebih memilih skema tunai dibandingkan cashless, sesuai dengan namanya yaitu bantuan langsung tunai," kata Fajar.
Skema ini dirasa lebih cocok, karena penerima akan lebih fleksibel dalam menggunakan uang yang diterima. Fajar juga meyakini bahwa mereka sudah memiliki prioritas transaksi atau pembayaran yang harus dilakukan setiap bulannya.
Baca Juga: Sri Mulyani: Dalam skenario lebih berat, kemiskinan bisa bertambah 3,78 juta orang
Sebagai informasi, berdasarkan data kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2019 lalu jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat sebanyak 24,79 juta jiwa, atau 9,22% dari total penduduk.
Jumlah tersebut turun sebanyak 358.9000 jiwa, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2019, yaitu sebanyak 25,14 juta jiwa atau 9,41%.
Baca Juga: Angka kemiskinan berpotensi membesar, ini langkah yang dilakukan pemerintah
Lebih lanjut, Fajar memprediksi, tingkat kemiskinan yang dihimpun oleh BPS pada bulan September 2020 nanti akan mengalami peningkatan mendekati 10%. Ini karena, akan ada transisi masyarakat yang sebelumnya tidak termasuk ke dalam kategori miskin, setelah terimbas corona mereka kemudian masuk ke dalam kategori miskin.
Kemudian, untuk besaran BLT yang saat ini senilai Rp 600.000 per bulan, Fajar mengatakan, apabila besarannya dapat ditambah maka akan sangat membantu. Namun, penambahan anggaran ini harus memperhatikan dampaknya pada defisit anggaran.
"Saat ini saja dengan alokasi Rp 405,1 triliun sudah melebarkan defisit anggaran hingga mencapai 5%," kata Fajar.
Baca Juga: Menkeu proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2021 bisa capai 5,5%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News