Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah memperluas basis pajaknya ke sektor pertanian. Caranya dengan mempermudah kemudahan penghitungan pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk-produk sektor pertanian.
Secara teknis perhitungan PPN tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89/PMK.010/2020 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak Atas Penyerahan Baran Hasil Pertanian Tertentu.
Beleid tersebut mulai berlaku per tanggal 27 Juli 2020. Isinya, Kemenkeu mengatur, dalam PMK 89/2020 disebutkan bahwa petani dan kelompok petani dapat memilih menggunakan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak yakni 10% dari harga jual. Sehingga tarif efektif PPN menjadi 1% dari harga jual.
Baca Juga: Menyoal Pajak Transaksi Digital Luar Negeri
Adapun berbagai barang hasil pertanian yang dapat menggunakan nilai lain adalah barang hasil perkebunan, tanaman pangan, tanaman hias dan obat, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu.
Otoritas fiskal juga menegaskan, produk pertanian merupakan barang kena pajak yang berasal dari petani maupun kelompok petani dengan omzet di atas Rp 4,8 miliar dikenai PPN 10% dari harga jual.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menyampaikan, dengan demikian, petani diberikan pilihan untuk menggunakan mekanisme dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain. “Jadi, tergantung kondisi petani yang bersangkutan lebih optimalnya menggunakan opsi yang mana,” ujar dia, Kamis (6/8).
Baca Juga: Bank Danamon Merugi di Kuartal II, Begini Rekomendasi Analis untuk Saham BDMN
Febrio bilang, dalam proses penghitungan pajak, petani dapat menghitung kewajiban PPN nya dengan memperhitungkan seluruh pajak masukan yang sudah dibayar. Misalnya, untuk pajak pembelian pupuk kemudian menyetorkan pada kas negara.
Informasi saja, fasilitas pembebasan PPN pernah dilakukan melalui PP 12 Tahun 2001 s.t.d.t.d. PP 31 tahun 2007 dicabut oleh putusan Mahkamah Agung No 70 P/Hum/2013 sehingga penyerahan barang hasil pertanian menjadi terutang PPN.
Febrio menerangkan, sejak putusan dicabut, petani masih kesulitan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga kemudahan yang ditawarkan PMK ini dapat menjadi jalan keluar. “Pesannya bukan ke penerimaannya tapi kepastian hukum yang lebih dikejar karena pelaku usaha di sektor pertanian juga sudah menunggu PMK ini,” tegasnya.
Kendati demikian, Febrio menyampaikan adanya beleid terbut, setidaknya akan memberikan kontribusi penerimaan PPN sebesar Rp 300 miliar.
Baca Juga: Tenggat waktu lapor informasi lembaga jasa keuangan untuk AEoI ditambah 2 bulan
“Hasilnya sebenarnya nggak terlalu besar. Nah kalau hitungnya, dampak PMK ke penerimaan PPN itu nggak terlalu besar. Karena kita juga tinggal beberapa bulan lagi sampai akhir 2020.” kata dia.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kemenkeu Suryo Utomo menambahkan, implementasi dari PMKJ 89/2020 merupakan salah satu upaya otoritas pajak dalam memperluas basis bajak. Sebab, dengan penyederhanaan mekanisme pembayaran pajak, dapat memasukan sektor pertanian ke dalam aturan formal yang terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan.
Dus, wajib pajak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak. “Kami DJP program memepeluas basis bagaimana memperluas basis pemajakan makin banyak orang bisa masuk sistem lebih formal jadi bahasa itu yang coba terus bahasakan supaya bayar pajak gak susah loh ga mahal loh. Jadi semakin banyak orang berpartisipasi,” ujar Suryo, Kamis (4/8)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News