Reporter: Fahriyadi | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Upah murah menjadi salah satu agenda yang bakal diangkat buruh dalam mogok kerja masal pada bulan ini. Selain tentunya isu penghapusan sistem kerja alih daya alias outsourcing. Problem upah murah memang sangat kompleks dan tidak pernah bisa tuntas.
Dita Indah Sari, Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mengatakan, tak kunjung selesainya masalah upah murah, salah satunya akibat ekonomi biaya tinggi yang masih membebani para pelaku usaha. "Ekonomi biaya tinggi menjadi kendala dari hulu hingga hilir, sehingga upah buruh rendah," katanya, akhir pekan lalu.
Menurut Dita, penyebab ekonomi biaya tinggi: pertama, masih tingginya suku bunga perbankan. Kedua, maraknya pungutan di daerah sehingga ongkos produksi membengkak. Dampak otonomi daerah banyak melahirkan peraturan daerah yang berujung pada pungutan atau pajak terhadap pengusaha. "Akibatnya, buruh yang dikorbankan," ujar dia.
Itu sebabnya, Dita bilang, perusahaan-perusahaan di Indonesia cuma mengalokasikan rata-rata 10% untuk biaya pegawai. Bujet sebesar itu terbilang rendah ketimbang negara Asia Tenggara lain yang di atas 20%.
Dita menambahkan, upah minimum sebenarnya ditujukan bagi pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari setahun. Tapi pada praktiknya, upah minimum juga berlaku untuk pekerja yang sudah berkeluarga dengan masa kerja lebih dari setahun.
Arief Winardi, anggota Komisi Ketenagakerjaan (IX) DPR, menyatakan, masalah upah buruh bisa kelar kalau hitung-hitungannya betul-betul berdasarkan indikator kebutuhan hidup layak. "Inilah yang terus diperjuangkan oleh buruh," imbuh dia.
Syahganda Nainggolan, Ketua Dewan Syuro Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) "98, prihatin dengan aksi buruh yang setiap tahun turun ke jalan menolak upah murah. "Seolah-olah pemerintah tak ada keinginan menyelesaikan masalah ini," kritiknya. Tapi, ia meminta agar buruh tidak pecah belah dalam memperjuangkan upah layak bagi mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News