Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) yakin masih ada potensi masuknya aliran modal dalam nilai yang cukup besar ke Indonesia pada tahun ini, meski masih ada ketidakpastian global.
Hal ini disebabkan oleh masih adanya ekspansi likuiditas yang dilakukan oleh beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia di tengah ketidakpastian yang disebabkan oleh tingginya tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Baca Juga: Ekonom ini menilai penurunan cadev tidak berpengaruh pada daya topang terhadap rupiah
Menurut Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo, saat ini aliran modal sebagian besar masuk ke portofolio. Namun, Dody meminta agar tidak cepat berpuas, karena Indonesia masih memiliki tugas besar, yaitu untuk mengarahkan arus modal yang masuk untuk tidak hanya mengalir ke portofolio.
"Tapi bagaimana caranya portofolio investment tadi tidak hanya masuk ke surat utang negara (SUN), tetapi juga masuk ke ekuitas? Lalu bagaimana untuk bisa meningkatkan foreign direct investment (FDI)?" kata Dody pada Rabu (10/12) di Jakarta.
BI pun memandang aliran modal yang masuk ini mampu menutup defisit transaksi berjalan (TB) atau current account deficit (CAD). BI pun menargetkan CAD Indonesia pada 2019 ini akan berada di kisaran 2,7% - 2,8% dari PDB. Menurut Dody, angka ini masih merupakan angka ideal karena masih dalam batasan, yaitu di bawah 3% dari PDB.
Baca Juga: Jokowi ingin neraca transaksi berjalan tak defisit lagi dalam 4 tahun, ini triknya
Dengan kondisi CAD yang stabil tersebut, Dody juga yakin bahwa ini merupakan modal untuk terjaganya nilai tukar rupiah.
Untuk itu, ke depannya BI mengaku akan terus mengeluarkan kebijakan moneter. Tidak hanya itu, bauran kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh BI juga akan dikoordinasi dan disinergikan dengan kebijakan fiskal yang datang dari pemerintah dan otoritas terkait.
Baca Juga: Pemerintah kejar pertumbuhan investasi langsung, Ekonom: Kualitas juga penting
Ke depannya, BI juga yakin bahwa masih ada aliran modal masuk yang cukup besar di Indonesia pada tahun 2020. Hal ini disebabkan oleh masih menariknya Indonesia dibandingkan negara lain dalam hal suku bunga acuan dan kondisi perekonomian.
"Jadi, ini juga bisa menjadi kekuatan kita untuk menarik retained earning melalui surat berharga di domestik," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News