Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dampak pandemi virus Corona telah mengganggu stabilitas sistem keuangan. Hal ini didukung oleh berbagai kebijakan yang diterapkan untuk meminimalkan penyebaran virus ini.
Seperti pembatasan sosial (social distancing) dalam bentuk pelarangan perjalanan (travel ban), penutupan perbatasan antarnegara (closed borders), penutupan sekolah, kantor, dan tempat ibadah bahkan isolasi suatu wilayah tertentu (lockdown).
Berbagai langkah ini, disinyalir menyebabkan aktivitas ekonomi menurun drastis. Terlebih, aktivitas ekonomi ini terganggu dari dua sisi sekaligus, baik dari sisi permintaan (demand) maupun dari sisi penawaran (supply).
Baca Juga: Ekonom IKS revisi proyeksi inflasi akhir tahun 2020 menjadi 3,0%
"Gangguan dari supply dan demand, menyebabkan gangguan dari sisi ekonomi dan menyebabkan potensi gangguan pada stabilitas sistem keuangan," ujar Sri dalam telekonferensi daring, Senin (11/5).
Adanya gangguan pada tingkat konsumsi, tingkat produksi, serta rantai pasokan global akan berujung pada penurunan output global yang sangat besar. Saat kondisi ini berlanjut, maka rambatan dampaknya juga berpotensi mengakibatkan gangguan stabilitas sistem keuangan.
Sebagai hasilnya, pada pertengahan Maret 2020 lalu, indeks volatilitas (VIX) menunjukkan tingkat kecemasan investor di pasar saham menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah. Akibatnya kinerja pasar saham di negara maju dan berkembang melemah tajam.
Indeks kepercayaan konsumen dan bisnis global juga turun tajam, melebihi tingkat penurunan saat krisis keuangan global 2008. Negara-negara berkembang mengalami arus modal keluar (capital outflow) yang sangat besar, karena investor lebih memilih untuk mencari aset yang aman (safe-haven assets).
Baca Juga: Sri Mulyani: Pencairan THR untuk ASN paling lambat Jumat (15/5)
Kemenkeu mencatat, dalam periode bulan Januari–Maret 2020 saja, arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia mencapai Rp 145,28 triliun.
Angka arus modal keluar tersebut, jauh lebih besar dibandingkan dengan periode krisis keuangan global tahun 2008 yang tercatat sebesar Rp 69,9 triliun dan taper tantrum 2013 sebesar Rp 36 triliun.
Selanjutnya, tekanan juga terlihat pada nilai tukar rupiah yang mengalami eskalasi tekanan cukup tinggi. Pada akhir Februari 2020, nilai tukar masih berada di level Rp 14.318 per dolar AS.
Namun, memasuki pekan kedua Maret 2020 melemah ke level Rp 14.778/USD. Pelemahan ini, berlanjut hingga menyentuh level terendah pada 23 Maret 2020 di level Rp 16.575/USD atau melemah 15,8% dibandingkan akhir bulan sebelumnya.
"Merespons kondisi yang dinamis di kuartal pertama tersebut, pemerintah bersama otoritas moneter dan regulator di jasa keuangan telah melakukan berbagai kebijakan. Bauran kebijakan ini dibuat, untuk meminimalkan dampak gejolak akibat Corona yang terjadi begitu singkat dan meluas secara luar biasa," kata Sri.
Adapun, beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Melalui Perppu 1/2020, pemerintah melakukan eskalasi belanja di bidang kesehatan, peningkatan belanja dan cakupan jaring pengaman sosial (social safety net), dukungan terhadap dunia usaha, serta pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Baca Juga: IHSG berpotensi turun, simak rekomendasi saham untuk Senin (11/5)
Di sisi moneter, Bank Indonesia (BI) menempuh kebijakan yang akomodatif dan konsisten dengan menurunkan BI7DRR, deposit facility, dan lending facility pada bulan Februari dan Maret 2020 masing-masing sebesar 25 bps (basis poin).
BI juga memperkuat intensitas triple intervention untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Selain itu, BI pun memperpanjang tenor Repo SBN hingga 12 bulan dan menyediakan lelang setiap hari untuk memperkuat pelonggaran likuiditas serta menambah frekuensi lelang.
Sri mengatakan, berbagai kebijakan baik di sektor fiskal maupun moneter, dilakukan dalam rangka memberikan bantalan serta memoderasi dampak negatif akibat Corona yang memiliki potensi mengganggu ekonomi dan stabilitas sistem keuangan.
Baca Juga: Kelonggaran pajak UMKM mulai berlaku
"Saat ini kita masih belum mengetahui berapa lama wabah ini akan terjadi, sehingga tingkat kontraksi ekonomi di seluruh dunia masih belum dapat diestimasi secara akurat. Pasalnya, sangat bergantung pada bagaimana penyebaran virus ini bisa dikendalikan," tandas Sri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News