Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pengamat pajak menilai bahwa kebijakan tarif bea masuk 0% atas produk impor dari negara manapun, termasuk Amerika Serikat (AS), memang dapat menurunkan penerimaan dari bea masuk, namun dampaknya terhadap total penerimaan negara relatif kecil.
Merujuk Peraturan Presiden (Perpres) No. 201/2024 yang memuat rincian APBN 2025, target penerimaan bea masuk hanya sebesar Rp52,96 triliun, atau sekitar 0,21% dari target total penerimaan perpajakan yang dipatok Rp24.909 triliun. Artinya, kontribusi bea masuk terhadap APBN memang tergolong minor.
Baca Juga: AEKI: Tarif Kopi ke AS Idealnya di Bawah 10%
Namun, menurut Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, potensi penurunan bea masuk bisa diimbangi oleh peningkatan penerimaan dari PPh Pasal 25/29 (PPh Badan).
Selain itu, meningkatnya volume impor juga berpeluang mendongkrak penerimaan dari PPN impor dan PPh Pasal 22 atas impor.
"Penanggung bea masuk adalah importir lokal, bukan pengusaha AS. Jadi, peningkatan impor bisa justru memperkuat penerimaan negara dari sisi pajak lain seperti PPN dan PPh 22 impor," kata Prianto kepada Kontan.co.id, Minggu (20/7).
Ia menjelaskan, terdapat trade-off antara penurunan tarif bea masuk dan potensi kenaikan PPh Badan, khususnya dalam konteks kerja sama dagang bilateral Indonesia-AS. Di satu sisi, penerimaan bea masuk berpotensi turun.
Namun di sisi lain, kebijakan ini bisa mendorong sektor padat karya nasional seperti industri garmen dan alas kaki untuk tumbuh lebih pesat.
Baca Juga: Ekonom Celios: Indonesia Merugi Besar dalam Negosiasi Tarif dengan AS
"Kesepakatan tarif baru ini juga menguntungkan Indonesia karena mencakup komoditas ekspor unggulan seperti minyak sawit," tambah Prianto.
Lebih lanjut, ia menilai penurunan tarif dari sebelumnya 32% menjadi 0% juga memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha.
Hal ini berpotensi menciptakan lapangan kerja, mendorong relokasi industri ke Indonesia, dan meningkatkan investasi jangka panjang.
“Sektor padat karya seperti garmen dan alas kaki punya skala besar di pasar AS. Intervensi pemerintah melalui kesepakatan tarif ini penting untuk menjaga pasar ekspor dan mencegah gelombang PHK massal,” ujar Prianto.
Di sisi lain, sejumlah komoditas ekspor utama dari AS ke Indonesia juga akan terdampak positif dari penurunan tarif ini, termasuk produk energi (seperti LPG dan minyak bumi), produk pertanian (gandum, jagung, kedelai, kapas), mesin dan peralatan, hingga kendaraan udara.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 26/PMK.10/2022 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Tarif Bea Masuk, saat ini komoditas asal AS dikenai tarif bervariasi.
Baca Juga: Tarif Nol Persen Bea Masuk Impor AS Dinilai Tak Signifikan Ganggu Penerimaan Negara
Misalnya, biji kapas dan LPG dikenakan tarif 5%, tepung gandum antara 5%-10%, dan jagung sebesar 5%. Minyak bumi dan biji kedelai bebas tarif, namun olahan kedelai seperti tepung atau minyak masih dikenai 5%.
Dengan adanya perjanjian dagang baru antara Indonesia dan AS, maka komoditas-komoditas tersebut diproyeksikan akan dibebaskan dari bea masuk.
Ini sekaligus bisa menurunkan biaya produksi sektor industri yang tergantung pada bahan baku impor dari AS.
Selanjutnya: Kolaborasi Tata Metal dan Krakatau Steel (KRAS) Ekspor Baja Lapis ke AS
Menarik Dibaca: Samsung Z Fold 6 dengan Layar Dua Mode, Bisa jadi Smartphone Sekaligus Tablet
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News