Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Sejumlah pihak menilai beragam, terkait rencana pemerintah untuk melindungi pekerja dengan asuransi sebagai bantalan jika kehilangan pekerjaan.
Ekonom Universitas Indonesia Destry Damayanti mengatakan, kebijakan seperti itu sudah umum dilakukan di negara maju. Pemerintah diminta untuk tidak meniru secara utuh kebijakan tersebut.
Sebab, kebijakan yang berlaku di beberapa negara memiliki kelemahan. Salah satunya batasan jangka waktu yang tidak jelas. Sehingga membuat banyak warga negaranya yang memanfaatkan dana asuransi ini, tanpa harus repot mencari pekerjaan baru.
Kalaupun, ingin diterapkan maka pemerintah perlu membuat batasan yang jelas berapa lama benefit asuransi ini bisa dirasakan. "Jangan sampai sama dengan UMR," ujar Destry, Selasa (1/11).
Lebih lanjut Destry melihat kebijakan ini akan sulit dilakukan di Indonesia karena beberapa alasan. Salah satunya, jumlah penduduk Indonesia yang kebanyakan bekerja di sektor informal.
Indonesia juga saat ini dinilai belum mampu untuk memberikan bantuan asuransi ini. Untuk itu, lebih baik pemerintah fokus pada isu-isu seperti bantuan sosial, kesehatan gratis, pendidikan, jaminan kerja.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh ekonom dan Rektor Universitas Paramadina Firmanzah. Menurutnya, pemerintah lebih baik mengimplementasikan rencana kajian menyiapkan anggaran khusus bagi pengembangan tenaga kerja.
Kebijakan ini akan jauh lebih masuk akal, dan lebih bisa diterapkan. Selain itu, dampaknya akan lebih terasa karena yang dibutuhkan saat ini adalah kualitas sumber daya manusia yang sesuai kebutuhan dunia usaha.
Namun demikian, menurut Wakil Ketua Apindo Bidang Ketenagakerjaan Harjanto berharap kalau ada asuransi, bisa mengganti sistem pemberian pesangon. Selama ini, perusahaan yang memecat pegawainya memang memiliki kewajiban untuk memberikan pesangon.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News