Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Risiko resesi Amerika Serikat (AS) semakin nyata. Yield obligasi AS tenor tiga bulanan tercatat lebih tinggi dibanding yield sepuluh tahun.
Sementara, untuk yield tenor dua tahun terhadap sepuluh tahun belum terjadi perubahan. Begitupun nilai probabilitas resesi hingga satu tahun mendatang yang dikeluarkan The Federal Reserve pun menunjukkan berada di bawah 30%.
Baca Juga: Desas-desus resesi bikin IHSG tergerus
Ancaman resesi ekonomi AS meningkat setelah ekonomi Jerman berbalik arah dan melemah pada kuartal kedua tahun ini. Tambah lagi, pertumbuhan output industri China yang turun ke level terendah lebih dari 17 tahun pada Juli 2019.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menilai pelaku pasar global memandang peluang AS mengalami resesi semakin besar khususnya tercermin dari yield curve US bond yang inverted.
Dia mengaku persepsi pasar berbeda dengan perkiraan The Fed yang memperkirakan ekonomi AS masih tumbuh cukup baik sebagaimana tercermin dari indikator lainnya seperti inflasi yang dibilang masih terjaga.
Baca Juga: Kekhawatiran perlambatan ekonomi global menekan rupiah
Ekonom Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana menambahkan inverted yield obligasi AS telah mampu memberikan sinyal pd setidaknya 7 kali resesi dalam lima puluh tahun terakhir di AS, menjadikan sentimen negatif pasar keuangan global meningkat.
“Hal itulah yang menjalar ke negara emerging market, termasuk Indonesia. Sehingga risiko premium kita meningkat, akibatnya yield kita malah meningkat saat yield US nya memiliki tren menurun,” kata Fikri kepada Kontan.co.id, Kamis (15/8).
Dody menilai jika resesi terjadi di AS tentunya akan berdampak secara global termasuk Indonesia. Karenanya AS merupakan mesin utama ekonomi dunia selain China.
“Dalam kondisi demikian, negara-negara akan mengandalkan sumber dari domestik untuk menopang pertumbuhan,” kata Doddy kepada Kontan.co.id, Kamis (15/8).
Baca Juga: Sinyal resesi Amerika Serikat makin menguat
Ancaman resesi AS pun tentunya berdampak terhadap stabilitas makro dalam negeri. Misalnya, pergerakan rupiah yang secara umum dipengaruhi dua faktor yaitu faktor fundamental dan faktor sentimen.
Belakangan ini faktor sentimen lebih dominan yaitu dinamika perang dagang AS-China, dinamika geopolitik seperti di Argentina, serta perkembangan ekonomi AS.
Dody menilai ancaman resesi AS akan berdampak terhadap penurunan harga minyak, dalam kerangka yang lebih fundamental dapat berdampak positif bagi current account deficit (CAD).
Mengutip Bloomberg pukul 18.26 WIB, minyak Brent untuk pengiriman Oktober 2019 turun 2,49% menjadi US$ 58,00 per barel. Setali tiga uang tren penurunan harga minyak membantu mengurangi tekanan pada rupiah meskipun tentunya terdapat faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi.
Baca Juga: Neraca dagang Juli di luar ekspektasi, begini respons ekonom
Mengutip Bloomberg di pasar spot, rupiah tercatat melemah 0,20% ke Rp 14.274 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis (15/8). Sementara, pada kurs tengah BI, mata uang Garuda tercatat melemah 0,44% ke Rp 14.296 per dollar AS.
Ekonom Bank Mandiri Reny Eka Putri mengamati penutupan rupiah hari ini membaik jika dibandingkan pada pergerakan rupiah yang sempat menyentuh Rp 14.300 per dolar AS. Kombinasi sentimen eksternal dan internal membuat posisi rupiah masih cukup baik dan kompetitif. Apalagi, BI juga terbuka mengontrol pasar dengan melakukan intervensi.
Fikri menambahkan rupiah kemungkinan akan lanjut menguat dengan tren harga minyak global yang melemah. Apalagi dari data neraca perdagangan Juli 2019, tampaknya impor migas menurun 9% dan secara keseluruhan impor sudah menurun 15,21% year on year (yoy).
Meskipun sebaliknya ekspor migas meningkat 13,35% yoy. Fikri memprediksi dengan kondisi eksternal dan internal saat ini stabilitas makro dari sisi nilai tukar rupiah akan membantu.
Baca Juga: Inilah sejumlah faktor yang bikin harga minyak Brent anjlok ke bawah US$ 60
Dia meramal rupiah bisa berada di nilai rata2-rata tengah di level Rp 14.280 per dollar AS sepanjang 2019, atau dalam rentang Rp 13.900-Rp 14.700 per dollar AS.
“BI akan terus berada di pasar untuk menjaga nilai tukar sejalan fundamentalnya dan memastikan mekanisme pasar tetap berjalan dengan baik sehingga tetap kondusif bagi stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan,” ujar Dody.
Di sisi lain, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir memiliki pandangan berbeda. Menurutnya AS masih jauh dari resesi.
Baca Juga: Ini dampak inverted yield curve US Treasury bagi Indonesia
Iskandar menilai stabilitas makro domestik masih dihantui gencatan dagang AS-China. Yang telah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di China dan AS turun. Sehingga daya beli global turun. Efek domino selanjutnya dapat menurunkan pertumbuhan ekspor Indonesia di tahun 2019.
“Dampaknya adalah terhadap ekspor Indonesia karena China, Jepang dan AS adalah tiga negara terbesar ekspor Indonesia,” kata Iskandar kepada Kontan.co.id, Kamis (15/8).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News