Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Peningkatan beban bunga utang Indonesia dinilai tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan dipicu oleh kombinasi faktor struktural yang kini mulai menekan ruang fiskal pemerintah.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menjelaskan, faktor pertama datang dari kenaikan suku bunga global pasca-pengetatan moneter di negara-negara maju.
Kondisi tersebut membuat biaya pembiayaan ulang (refinancing) utang pemerintah, terutama Surat Berharga Negara (SBN), menjadi jauh lebih mahal.
"Biaya refinancing meningkat signifikan karena suku bunga global naik, sementara sebagian besar pembiayaan kita berbasis pasar," ungkap Rizal kepada Kompas.com pada Sabtu (27/12/2025).
Faktor kedua berasal dari akumulasi utang yang meningkat tajam selama masa pandemi.
Saat itu, defisit APBN melebar hingga di atas 6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), sehingga pemerintah menambah pembiayaan utang dalam jumlah besar.
Kini katanya, sebagian utang tersebut mulai jatuh tempo dan harus dibiayai ulang dengan tingkat bunga yang lebih tinggi.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Transaksi Belanja Nataru 2025/2026 Capai Rp 110 Triliun
Selain itu, ketergantungan APBN pada pembiayaan berbasis pasar (market-based financing) membuat fiskal Indonesia semakin sensitif terhadap volatilitas pasar keuangan dan persepsi risiko investor.
Menurut Rizal, kondisi ini memperbesar tekanan biaya utang ketika sentimen global memburuk.
Meskipun demikian, Rizal menekankan bahwa secara rasio utang terhadap PDB, posisi Indonesia masih relatif moderat, berada di kisaran 39–40 persen PDB, dan lebih rendah dibandingkan banyak negara berkembang lainnya.
"Namun risiko fiskal tidak hanya ditentukan oleh rasio utang, melainkan oleh biaya utang atau interest burden," jelasnya.
Dalam aspek tersebut, Indonesia dinilai mulai tertinggal dibandingkan sejumlah negara selevel di Asia.
Rasio pembayaran bunga terhadap pendapatan negara Indonesia relatif lebih tinggi, sehingga arus kas fiskal menjadi semakin tertekan meskipun stok utang terlihat masih aman.
Baca Juga: Tambahan Anggaran Rp 7,66 Triliun untuk Guru ASN Daerah Cair Desember 2025
Besarnya pembayaran bunga utang, lanjut Rizal, secara langsung menggerus ruang belanja diskresioner pemerintah.
Setiap kenaikan bunga berarti semakin sedikit anggaran yang dapat dialokasikan untuk belanja pembangunan dan perlindungan sosial.
Dalam jangka menengah, kondisi ini berpotensi memaksa pemerintah menghadapi trade-off kebijakan yang sulit, yakni antara menjaga stabilitas fiskal atau mendorong pertumbuhan ekonomi.
Rizal menghawatirkan, jika tidak dikelola secara hati-hati, tekanan tersebut dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas stimulus fiskal dan melemahkan efektivitas APBN sebagai instrumen stabilisasi ekonomi.













