Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total outstanding utang pemerintah pusat mencapai Rp 9.138,05 triliun per Juni 2025. Angka tersebut setara dengan 39,86% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Adapun rasio utang ini hampir mendekati ambang batas maksimal rasio utang yang aman yakni di level 40% terhadap PDB. Meski masih jauh dari batas maksimal sebesar 60% dari PDB yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, rasio utang yang mendekati 40% dari PDB tersebut bukan tanpa risiko. Menurutnya, salah satu yang perlu diwaspadai adalah meningkatnya beban bunga utang, karena sebagian besar portofolio penerbitan utang pemerintah sekitar 87% berupa Surat Berharga Negara (SBN) yang sensitif terhadap perubahan suku bunga.
Baca Juga: Jumlah Investor Meningkat, Prospek Kripto Masih Menarik
“Ketika suku bunga global naik, otomatis biaya bunga dalam APBN ikut naik, dan ruang fiskal pemerintah untuk belanja lain bisa tertekan,” tutur Yusuf kepada Kontan, Jumat (10/10/2025).
Di sisi lain, Yusuf juga melihat adanya risiko refinancing atau rollover, karena pemerintah harus terus menerbitkan surat utang baru untuk melunasi yang jatuh tempo. Sehingga, apabila terjadi gejolak pasar, misalnya akibat tensi geopolitik atau penurunan rating kredit, kemampuan pemerintah untuk mengakses pendanaan murah bisa terganggu.
Selain itu, ia juga menilai dengan rasio utang yang tinggi maka akan berdampak pada perekonomian lebih rentan terhadap pelemahan rupiah, inflasi, atau perlambatan ekonomi global.
Menurutnya, dalam jangka panjang, kondisi seperti ini bisa menurunkan kepercayaan investor, menaikkan biaya pinjaman, dan membatasi kemampuan fiskal pemerintah untuk merespons krisis.
“Meski begitu, risikonya masih moderat karena komposisi utang Indonesia didominasi mata uang rupiah sekitar 60% dan berjangka panjang, sehingga tekanan dari nilai tukar relatif lebih kecil,” ungkapnya.
Ke depan, Yusuf mengingatkan agar pemerintah menjaga beberapa strategi mitigasi. Pertama, dengan diversifikasi sumber pendanaan memperbesar porsi pinjaman berbiaya rendah seperti dari lembaga multilateral, serta memperkuat pasar domestik lewat penerbitan SBN rupiah.
Kedua, melalui pengelolaan portofolio aktif dalam Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah, pemerintah bisa menyeimbangkan antara tenor pendek dan panjang agar risiko suku bunga dan refinancing lebih terkendali.
Di sisi penerimaan, ia juga menyebut, reformasi pajak, peningkatan ekspor, dan mendorong investasi juga penting untuk memperkuat basis PDB sehingga rasio utang bisa turun secara alami.
“Transparansi fiskal dan upaya menjaga rating kredit juga menjadi faktor penting dalam menjaga kepercayaan investor,” jelasnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, posisi utang tersebut terdiri atas utang dari pinjaman sebesar Rp 1.157,18 triliun dan penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 7.980,87 triliun. Total utang itu sedikit menurun dibandingkan posisi Mei 2025 yang mencapai Rp 9.177,48 triliun.
Lebih lanjut, Yusuf juga menyoroti, terkait rencana pemerintah yang akan mengandalkan penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dalam tenor pendek untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025–2026.
Ia menyebut rencana penerbitan SPN dengan tenor biasanya 3 sampai 12 bulan, untuk memenuhi kebutuhan likuiditas, terutama di awal tahun anggaran.
“Secara konsep, langkah ini cukup baik karena memberi fleksibilitas tinggi, biayanya relatif rendah, dan membantu mengelola fluktuasi kas tanpa harus langsung menerbitkan utang jangka panjang yang lebih mahal,” ungkapnya.
Meski demikian, Yusuf menilai, kebijakan tersebut harus diimbangi dengan kehati-hatian, karena SPN memiliki risiko refinancing yang tinggi. Artinya pemerintah harus sering memperbarui pinjaman tersebut. Jika kondisi pasar sedang tidak kondusif, misalnya saat suku bunga naik atau likuiditas mengetat, biaya pembiayaan bisa melonjak.
Baca Juga: Kelebihan Pasokan, Harga Komoditas Energi Tertekan
Selanjutnya: Jumlah Investor Meningkat, Prospek Kripto Masih Menarik
Menarik Dibaca: 6 Zodiak yang Paling Cemburuan, Scorpio Nomor 2
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News