Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang telah memasuki keseimbangan baru dinilai akan berdampak pada meningkatnya beban bunga utang pemerintah.
Ekonom Bright Institute Yanuar Rizky mengingatkan bahwa tekanan terhadap fiskal Indonesia dapat semakin berat dalam beberapa tahun mendatang.
“Rupiah memang sudah di angka keseimbangan baru. Pada 2022, saat US Dollar Index (DXY) di level 97, rupiah masih di Rp 15.100. Sekarang DXY sudah kembali ke level 97, tapi rupiah tidak kembali ke angka yang sama. Sekarang ada di Rp 16.200,” ujar Yanuar kepada KONTAN, Kamis (24/7).
Dengan kondisi tersebut, menurut Yanuar, asumsi nilai tukar dalam APBN 2025 mencerminkan realitas kurs baru rupiah yang lebih lemah, terlepas dari potensi pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral AS, The Federal Reserve.
Baca Juga: Rupiah Dibuka Menguat ke Rp 16.253 Per Dolar AS Hari Ini (24/7), Seluruh Asia Naik
Ia memaparkan, terdapat dua faktor utama yang menyebabkan pembengkakan beban bunga utang pemerintah.
Pertama, pelemahan rupiah menyebabkan peningkatan risiko nilai tukar (forex risk) terhadap Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli asing pada 2022.
Kedua, penyesuaian yield yang terjadi karena transaksi jual beli SBN di kurs yang berbeda.
“Selain itu, ada juga faktor penambahan volume utang. Hitungan kasar saya, beban bunga utang akan naik ke sekitar Rp 600 triliun,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yanuar mengingatkan potensi gagal bayar utang dalam tiga tahun ke depan, yang perlu diantisipasi secara serius. Tahun-tahun kritis tersebut adalah 2025, 2026, dan 2027, periode di mana penerimaan negara diperkirakan berada dalam tekanan.
Baca Juga: Pelemahan Rupiah dan Yield Tinggi Picu Kenaikan Biaya Utang Pemerintah di 2026
"Yang perlu diwaspadai adalah potensi gagal bayar yang harus dicegah dalam tiga tahun kritis tersebut. Terlebih dengan bertambahnya utang publik non-pemerintah, yang berpotensi dilakukan BUMN dan lembaga lainnya. Itu bisa menambah tekanan terhadap likuiditas moneter (rupiah) dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan utang publik," kata dia.
Dengan tantangan tersebut, pemerintah diharapkan dapat mengelola risiko fiskal secara hati-hati, termasuk melalui penguatan penerimaan negara, efisiensi belanja, serta strategi pembiayaan yang prudent.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News