Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2026 berada pada kisaran 5,2% hingga 5,8% year on year (yoy).
Untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi tersebut, maka dibutuhkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hingga 5,5% yoy di tahun 2026.
Proyeksi tersebut tumbuh dari kuartal I 2025 yang mencapai 4,89% yoy. Sebagaimana diketahui, konsumsi merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Baca Juga: Laju Pertumbuhan Konsumsi Stagnan, Belum Kembali ke Level Pra Pandemi Covid-19
Direktur Pengembangan Big Data Indef, Eko Listiyanto, menilai, kunci untuk mencapai pertumbuhan konsumsi rumah tangga tinggi 5,5% di 2025, diperlukan produksi dari sisi industri yang meningkat sehingga lapangan pekerjaan meningkat terserap lebih banyak, dan pada muaranya akan mendorong konsumsi.
“Untuk itu, laju kredit harus dipacu di atas 15% yoy. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan agar uang masyarakat bisa dibelanjakan. APBN pencairannya harus cepat dan dialokasikan untuk belanja-belanja produktif,” tutur Eko kepada Kontan, Jumat (4/7).
Ia mencatat, laju penyaluran kredit harus diperlebar lantaran realisasinya masih minim. Bank Indonesia (BI) mencatat kredit perbankan tumbuh 8,1% yoy pada Mei 2025, melambat dari April 2025.
Menurutnya, dengan laju kredit yang masih kisaran 8% yoy, akan sangat sulit mencapai pertumbuhan ekonomi 5% yoy. Sejalan dengan itu, pertumbuhan belanja pemerintah juga sedang lambat realisasinya.
Baca Juga: Kredit Konsumsi Maret 2025 Melambat, Daya Beli dan Likuiditas Jadi Sorotan
Bahkan pada kuartal I 2025, konsumsi pemerintah mengalami kontraksi sebesar 1,35% yoy.
Dari sisi belanja, pemerintah menyerukan bahwa program makan bergizi gratis (MBG) dipertuntukkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Padahal menurut Eko, MBG langsung lebih ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi perbaikan gizi dan kualitas sumber daya manusia (SDM).
“Jadi fokuskan MBG lebih untuk kualitas SDM. Dampak ekonomi dari pelibatan UMKM lokal dan produk lokal. Tidak harus dipaksakan jadi motor pertumbuhan ekonomi saat ini,” ungkapnya.
Maka dari itu, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendorong konsumsi rumah tangga tahun depan, Eko menyarankan agar pemerintah fokus pada pertumbuhan industri.
Baca Juga: Daya Beli Lesu, Kredit Konsumsi Perbankan Tumbuh Melambat
Industri dinilai harus tumbuh di atas 5%. Caranya, bisa dengan memberantas premanisme dan biaya-biaya tambahan tidak resmi yang membuat pengusaha enggan bisnis di negeri sendiri.
Kemudian, pemerintah memberikan dukungan dan fasilitasi upaya mendorong reindustrialisasi melalui kawasan-kawasan industri baru yang saat ini sedang dan telah dibangun.
Selanjutnya, memperbanyak business matching antara investor industri dengan kawasan-kawasan industri yang siap menampung investasi baru maupun perluasan.
“Memperkuat layanan dan infrastruktur logistik untuk mendukung industrialisasi. Serta memberikan layak berbasis produktivitas agar industri/pengusaha juga mendapat output produktivitas tenaga kerja yang sejalan dengan tuntutan pembayaran upahnya,” ungkapnya.
Baca Juga: Daya Beli Belum Pulih, Tren Perlambatan Kredit Konsumsi Bakal Lanjut
Dalam kesempatan berbeda, Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengungkapkan, selama ini yang menghambat laju pertumbuhan adalah adanya penurunan daya beli yang terjadi secara sistematik dan struktural, bahkan untuk diubah dalam satu hingga dua tahun ke depan.
Saya tidak yakin konsumsi akan mampu tumbuh di level itu, harapan terbesar kita ada pada investasi yang juga sedang mengalami situasi sulit akibat persepsi ketidakpastian iklim berusaha yang belum membaik selain faktor dinamika ekonomi dan geopolitik dunia,” kata Wija.
Menurutnya, untuk menggerakkan konsumsi rumah tangga, pemerintah dinilai harus mengkalibrasi program-program besar yang boros anggaran, merevisi target-target pembangunan sehingga lebih realistis sehingga bisa dikonkritkan dalam bentuk kebijakan, rencana kerja dan anggaran.
Baca Juga: Masyarakat Menahan Konsumsi di Ramadan dan Idulfitri
Selain itu, target pertumbuhan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) perlu disesuaikan. Menurutnya, target angka yang terlalu bombastis sangat menggangu kita dalam menyusun rencana yang bisa dilakukan.
Misalnya saja terkait rencana ekspansi produksi listrik.
“Apakah kita harus menggunakan pertumbuhan 8% di tahun 2029 sebagai asumsi? jika iya, maka investasi pembangkit akan digeber, tetapi bagaimana jika ternyata hanya tumbuh 5% tahun 2029? Kita akan menghadapi over supply listrik yang luar biasa, padahal kita terikat dengan kontrak take or pay. Hal yang sama juga terjadi pada sektor lain, termasuk pangan, infrastruktur, transportasi,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News