Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hanya selang dua hari dilantik menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo langsung membuat pengumuman mengejutkan. Yakni: menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan (insidentil) Rabu, 30 Mei 2018.
Sontak, pengumuman ini mencuatkan spekulasi sekaligus ekspektasi dari banyak pihak. Sebagian tak ingin suku bunga acuan atau 7day repo rate (7DRR) naik. Kenaikan bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI 17-19 Mei 2018 lalu dianggap sudah cukup untuk kondisi moneter saat ini. Pembalikan dana-dana panas alias hot money diyakini akan berakhir di bulan Mei ini. Tak hanya itu, pelemahan rupiah saat ini dinilai masih wajar di tengah penguatan dollar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang.
Namun, banyak juga yang memprediksi, BI akan kembali menaikkan suku bunga acuannya atau 7 day repo rate. Apalagi, dalam pelantikan, gubernur BI baru itu menebar isyarat itu. Sesaat setelah pelantikan Perry menyebut bahwa ke depan, kebijakan suku bunga BI bakal lebih antisipatif alias ahead the curve.
Lantas apa pilihan bank sentral? Keputusan tersebut tentu baru akan ketahuan secara pasti di Rabu 30 Mei nanti. Yang jelas, kali terakhir BI mengandakan rapat tambahan adalah di akhir Agustutus 2013. Rapat tambahan tersebut dilakukan para pejabat bank sentral Indonesia di tengah potensi kenaikan suku bunga acuan AS (The Fed). Kala itu, Fed berencana menaikkan suku bunganya untuk kali pertama setelah kebijakan bunga mini bertahan.
Kenaikan bunga Fed akan memacu aliran dana-dana panas dari pasar keuangan emerging market termasuk Indonesia. Dampaknya rupiah akan tersungkur. Tak pelak, saat itu, BI menaikkan suku bunga acuan BI rate sebesar 0,5% ke level 7%.
Kondisi saat ini juga mirip situasi tahun 2013. Jika tak ada aral melintang Federal Reserve akan menggelar rapat The Federal Open Market Committee (FOMC) pada pertengahan Juni 2018 nanti. Banyak yang yakin bahwa Fed akan menaikkan suku bunga dalam rapat tersebut. Bloomberg, dalam surveinya (3/5) menyebut, 100% responden yang disurvei yakin pertemuan Juni nanti peluang Fed rate terkerek dari posisi saat ini di 1,75% besar.
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Aida S. Budiman mengatakan, dalam kebijakan moneternya, bank sentral akan memperhatikan seluruh aspek yang mempengaruhi kebijakan bank sentral. Ini pula yang akan menjadi dasar terselenggaranya pertemuan tambahan rapat dewan gubernur BI pada Rabu, 30 Mei 2018 nanti.
“Selain melakukan review atas kebijakan yang BI ambil di RDG 17-19 Mei lalu, rapat tambahan juga melihat perkembangan pasar global terkini dan pasar domestik,” tandas Aida kepada sejumlah wartawan, termasuk jurnalis kontan.co.id akhir pekan lalu (26/5).
Dari pasar global semisal. Bank sentral Indonesia akan melihat: pertama, geliat pertumbuhan ekonomi global yang terus menuju perbaikan. Bahkan, lewat World Economic Outlook (WEO) yang terbit April 2018 lalu, International Monetery Fund (IMF) memproyeksi ekonomi AS akan tumbuh di level 2,9%. Proyeksi ini lebih tinggi 0,6% dari proyeksi yang dibuat IMF pada Oktober 2017 lalu. Ekonomi di negara-negara kawasan Eropa juga akan tumbuh 2,4%, naik 0,5% dari proyeksi sebelumnya.
Di kawasan emerging market, ekonomi Jepang diprediksi akan tumbuh di kisaran 1,2%, naik 0,1% dari proyeksi sebelumnya. Ekonomi Tiongkok juga akan akan tumbuh 6,6%, naik 0,1% dari proyeksi sebelumnya, serta India yang diproyeksi akan tumbuh 7,4%.
Kedua, kenaikan harga minyak yang masih membubung, di tengah tren partumbuhan harga batubara yang mulai landai. Meskipun, kata Aida, tren penurunan harga komoditas non energi masih di level yang tinggi di 2018. “Dengan ekpor orientasi kita yang masih berbasis komoditas, suprcyle kenaikan akan terhenti dan harga minyak akan jadi concern kami,” ujar dia.
Ketiga, perubahan ekonomi global ke arah perbaikan dipastikan akan berdampak bagi negara-negara berkembang (emerging market), termasuk Indonesia. Pasalnya, perbaikan ekonomi diikuti dengan normalisasi kebijakan moneter di negara-negara tersebut. Salah satu indikatornya adalah kenaikan suku bunga acuan baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang.
“AS semisal diperkirakan akan menaikkan tiga sampai empat kali bunga acuannya,” ujar dia. Selain di bulan Juni, AS diproyeksi akan menaikkan suku bunganya lagu di Desember 2018. Pun di negara-negara berkembang seperti China, Filipina, India, Korea Selatan hingga Malaysia.
Kondisi ini, menurut Aida membutuhkan langkah antisipatif bank sentral mengingat pasar keuangan Indonesia masih didominasi oleh aliran dana-dana asing alias hot money. Normalisasi kebijakan yang diikuti dengan menaikkan suku bunga akan membuat pembalikan dana-dana panas ke negara asal. Para pemburu rente mencari tempat untuk membiakan dananya di pasar yang menawarkan suku bunga tinggi. Amerika Serikat semisal, imbal hasil surat utang negara adidaya tersebut mendaki. Yield US treasury untuk 10 tahun menjadi 3% di Januari 2018.
Kenaikan ini, walhasil membuat “Investor dunia melakukan penyesuaian portofolio dari negara berkembang dengan menarik dana-dana mereka,” imbuh Kepala Departmen Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendaryah, akhir pekan lalu (26/5).
Dampaknya, rupiah pun harus loyo, seperti juga mata uang lain di negara berkembang. Meski loyo, kata Nanang, performa rupiah dibanding dengan negara lain lebih baik lantaran didukung oleh fundamental ekonomi dalam negeri yang kuat. Efek rebalancing portofilio, juga ditandai dengan melembeknya kinerja pasar saham di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dari awal tahun hingga 21 Mei, kinerja pasar saham Indonesia sudah minus 12,2%, Filipina -12,62%, Turki -14,45%.
Data ekonomi domestik
Dari pasar domestik, semisal, bank sentral juga akan mempertimbangkan sejumlah faktor. Antara lain:
Satu, pertumbuhan ekonomi. Sampai kuartal I 2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,06%. Meski di bawah ekspektasi pasar, BI melihat pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama 2018 harus terus dijaga momentumnya. Apalagi, pertumbuhan kuartal I tersebut juga mulai ditopang oleh pertumbuhan investasi dan konsumsi swasta yang mulai naik.
Investasi pembentukan modal tetap bruto (PMTB) naik tinggi dibanding 2017. Jika tahun 2017, investasi PMTB hanya 6,15% maka di kuartal I 2018 mencapai 7,95%. Angka ini merupakan belanja swasta tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan investasi swasta ini bersumber dari investasi non bangunan, alias produksi. Kondisi ini juga berbarengan dengan investasi bangunan yang juga tumbuh tinggi terpacu proyek infrastruktur pemerintah.
Jika merunut data realisasi pertumbuhan ekonomi, dari 2012 sampai kuartal I 2018, “Saat ini, sudah terbentul L curve yang harus terus di-maintain agar bisa take off,” tandas Aida.
Pertumbuhan ekonomi juga nyaris merata di seluruh wilayah Indonesia. Wilayah Sumatra yang memiliki kontribusi pertumbuhan ekonomi nasional hingga 22%, pada kuartal I tumbuh 4,37%, turun tipis dari kuartal IV 2017 yang tumbuh 4,43%. Adapun Pulau Jawa yang berkontribusi 58,5% tumbuh sampai 5,78%, naik dari posisi kuartal IV 2017 yang tumbuh 5,62%. Kalimantan tumbuh 3,25%, turun tipis dari kuartal IV 2017 di posisi 3,37%.
Adapun Maluku Papua mencatatkan loncatan pertumbuhan ekonomi menjadi 18,42% di kuartal I 2018 dari sebelumnya 5,42% di kuartal IV 2017. “Momentum pertumbuhan inilah yang juga harus kami jaga dalam kebijakan moneter,” tandas Aida.
Faktor kedua adalah konsumsi swasta yang juga terus tumbuh di kuartal I 2018. Adalah belanja karena penyelenggaraan Pilkada, konsumsi rumah tangga yang naik karena membaiknya daya beli karena kenaikan pendapatan serta mulai bergulirnya bantuan sosial menjadi pencetusnya konsumsi. “Kenaikan daya beli juga dibarengi dibarengi dengan terjaganya inflasi,” tandas Aida. BI menyakini infasi tahun ini masih akan sesuai target yakni
Tiga terkait kinerja ekspor-impor. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor pada bulan April 2018 menurun 7,19% , dari US$ 15,59 miliar di bulan Maret menjadi US$ 14,47 miliar. Namun, secara tahunan ekspor masih tumbuh 9,01%. Ekspor bertumpu pada ekspor barang tambang serta barang industri atau manufaktur.
Adapun impor melonjak tajam. Sampai April 2018, impor mencatatkan kenaikan 11,28% dari bulan Maret 2018 yang mencapai US$ 16,09 miliar, adapun secara tahunan melonjak hingga 34,68% dibandingkan impor April 2017 yang mencapai US$ 11,95 miliar. Impor bahan baku dan barang modal mendominasi. Efeknya, neraca perdagangan mengalami deficit US$ 1,63 miliar.
Empat, defisit transaksi berjalan (current account deficit). Kuartal I 2018, defisit transaksi berjalan sebesar US$ 5,5 miliar, kinerja ini lebih rendah ketimbang kuartal sebelumnya yang mencapai US$ 6 miliar.
Lima, transaksi financial (investasi langsung, investasi portofolio , derivatif financial) dan modal (capital account). Berdasarkan catatan BI, data transksi financial dan modal, sampai kuartal I 2018 menunjukkan, surplus US$ 1,9 miliar yang bersumber masuknya investasi langsung ke Indonesia. Namun,surplus tersebut lebih rendah dari triwulan sebelumnya, sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Dengan kinerja seperti itu, neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal I/2018 tercatat defisit US$ 3,9 miliar, seiring dengan penurunan surplus neraca transaksi modal dan financial yang lebih besar dari defisit neraca transaksi berjalan.
Data industri keuangan domestik
Menurut Aida, selain data-data tersebut, BI juga akan mencermati perkembangan terkini terkait pasar finansial. Meski pada minggu pertama bulan April aliran dana asing di pasar surat utang negara dan pasar saham mencatatkan dana masuk, namun sepanjang bulan April, dana –dana asing tercatat keluar dari pasar keuangan Indonesia.
Catatan KONTAN, sampai 25 Mei, dana-dana asing yang keluar dari pasar saham mencapai Rp 40 triliun lebih. Adapun di pasar surat utang negara, asing juga masih terus mengurangi kepemilikannya. Sampai 24 Mei, kepemilikan asing di surat utang kembali turun menjadi Rp 829,81 triliun, atau mencuil 37,89%.
Menurut Nanang, meski asing keluar, BI memastikan likuiditas valas dan rupiah terjaga. “Kami selalu hadir di pasar saat dibutuhkan,” ujar dia. BI siap menyuplai valas sekaligus rupiah baik di pasar saham maupun pasar surat utang negara.
Bank sentral, menurut Nanang, akan masuk ke pasar keuangan secar terukur., Ini pula yang membuat cadangan devisa tetap dalam kondisi kuat, yakni per April mencapai US$ 124,9 miliar. Jumlah ini sanggup untuk membiayai 7,7 bulan impor dan pembayaran utang pemerintah, jauh di atas standar internasional yakni cukup untuk membiayai 3 bulan impor.
Tak hanya itu, di industri perbankan, di tengah pelemahan nilai tukar, rasio kecukupan modal perbankan Indonesia masih kuat yakni mencapai 22,5% dengan rasio likuditas di 21,2% per Marer 2018. Sementara kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) di menjadi 2,75% secara gross dan net 1,25% net. Adapun kredit di periode tahunan(yoy) Maret tumbuh 8,5%. Adapun simpanan tumbuh melambat menjadi 7,7% dibandingkan bulan sebelumnya mampu tumbuh 8,5%.
Dus kombinasi data global dan lokal inilah yang akan menjadi pegangan bank sentral dalam menentukan arah suku bunga ke depan.
Risiko eksternal dengan kenaikan FRR yang diperoyeksi lebih agresif bisa tiga atau empat kali, peningkatan yield treasury bond AS, perkembangan perang dagang AS dan China serta isu geopolitik akan menjadi pegangan bank sentral.
BI juga akan menjaga stabilitas ekonomi perekonomian, khususnya, inflasi dan nilai tukar rupiah. Artinya, BI akan terus mendukung upaya-upaya pertumbuhan ekonomi. Seperti kata Gubernur BI Perry Warjiyo usai pelantikan: “Saya pro stability, tetapi juga pro growth." Kebijakan kombinasi bakal dilakukan bank sentral untuk mengakselarasi dua kepentingan tersebut.
Hanya menurut Aida, jika dihadapkan pada situasi yang sulit, BI akan menjaga stabilitas menjadi pilihan utama dulu. Sebab: “Jika tak ada stabilitas, maka tidak ada growth,” ujarnya.
Rapat tambahan dewan gubernur BI tanggal 30 Mei ini jelas sudah menimbulkan ekspektasi sekaligus spekulasi di banyak kalangan. Pemburu rente jelas punya ekspektasi imbal hasil portfolionya tak tergerus, kenaikan suku bunga akan membuat margin mereka lebih lebar.
Di sisi lain, kenaikan suku bunga acuan bisa menjadi ancaman bagi pertumbuhan. Dampak kenaikan bunga acuan akan menimbulkan efek gulir kenaikan suku bunga pinjaman yang ujung-ujungnya bisa membuat cost ekspansi swasta dan konsumsi lokal terhambat. Efek lanjutannya lagi bisa mengerem laju ekonomi yang tengah dalam posisi menuju take off.
Mana yang bakal menjadi pilihan bank sentral? Bank sentral tentu punya pilihan matang mana yang akan dimenangkan (baca: diutamakan). Seperti kata Pak Perry, Gubernur BI baru: Bank sentral pro stabilitas tapi juga pro growth.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News