Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Data ekonomi domestik
Dari pasar domestik, semisal, bank sentral juga akan mempertimbangkan sejumlah faktor. Antara lain:
Satu, pertumbuhan ekonomi. Sampai kuartal I 2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,06%. Meski di bawah ekspektasi pasar, BI melihat pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama 2018 harus terus dijaga momentumnya. Apalagi, pertumbuhan kuartal I tersebut juga mulai ditopang oleh pertumbuhan investasi dan konsumsi swasta yang mulai naik.
Investasi pembentukan modal tetap bruto (PMTB) naik tinggi dibanding 2017. Jika tahun 2017, investasi PMTB hanya 6,15% maka di kuartal I 2018 mencapai 7,95%. Angka ini merupakan belanja swasta tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan investasi swasta ini bersumber dari investasi non bangunan, alias produksi. Kondisi ini juga berbarengan dengan investasi bangunan yang juga tumbuh tinggi terpacu proyek infrastruktur pemerintah.
Jika merunut data realisasi pertumbuhan ekonomi, dari 2012 sampai kuartal I 2018, “Saat ini, sudah terbentul L curve yang harus terus di-maintain agar bisa take off,” tandas Aida.
Pertumbuhan ekonomi juga nyaris merata di seluruh wilayah Indonesia. Wilayah Sumatra yang memiliki kontribusi pertumbuhan ekonomi nasional hingga 22%, pada kuartal I tumbuh 4,37%, turun tipis dari kuartal IV 2017 yang tumbuh 4,43%. Adapun Pulau Jawa yang berkontribusi 58,5% tumbuh sampai 5,78%, naik dari posisi kuartal IV 2017 yang tumbuh 5,62%. Kalimantan tumbuh 3,25%, turun tipis dari kuartal IV 2017 di posisi 3,37%.
Adapun Maluku Papua mencatatkan loncatan pertumbuhan ekonomi menjadi 18,42% di kuartal I 2018 dari sebelumnya 5,42% di kuartal IV 2017. “Momentum pertumbuhan inilah yang juga harus kami jaga dalam kebijakan moneter,” tandas Aida.
Faktor kedua adalah konsumsi swasta yang juga terus tumbuh di kuartal I 2018. Adalah belanja karena penyelenggaraan Pilkada, konsumsi rumah tangga yang naik karena membaiknya daya beli karena kenaikan pendapatan serta mulai bergulirnya bantuan sosial menjadi pencetusnya konsumsi. “Kenaikan daya beli juga dibarengi dibarengi dengan terjaganya inflasi,” tandas Aida. BI menyakini infasi tahun ini masih akan sesuai target yakni
Tiga terkait kinerja ekspor-impor. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor pada bulan April 2018 menurun 7,19% , dari US$ 15,59 miliar di bulan Maret menjadi US$ 14,47 miliar. Namun, secara tahunan ekspor masih tumbuh 9,01%. Ekspor bertumpu pada ekspor barang tambang serta barang industri atau manufaktur.
Adapun impor melonjak tajam. Sampai April 2018, impor mencatatkan kenaikan 11,28% dari bulan Maret 2018 yang mencapai US$ 16,09 miliar, adapun secara tahunan melonjak hingga 34,68% dibandingkan impor April 2017 yang mencapai US$ 11,95 miliar. Impor bahan baku dan barang modal mendominasi. Efeknya, neraca perdagangan mengalami deficit US$ 1,63 miliar.
Empat, defisit transaksi berjalan (current account deficit). Kuartal I 2018, defisit transaksi berjalan sebesar US$ 5,5 miliar, kinerja ini lebih rendah ketimbang kuartal sebelumnya yang mencapai US$ 6 miliar.
Lima, transaksi financial (investasi langsung, investasi portofolio , derivatif financial) dan modal (capital account). Berdasarkan catatan BI, data transksi financial dan modal, sampai kuartal I 2018 menunjukkan, surplus US$ 1,9 miliar yang bersumber masuknya investasi langsung ke Indonesia. Namun,surplus tersebut lebih rendah dari triwulan sebelumnya, sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Dengan kinerja seperti itu, neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal I/2018 tercatat defisit US$ 3,9 miliar, seiring dengan penurunan surplus neraca transaksi modal dan financial yang lebih besar dari defisit neraca transaksi berjalan.
Data industri keuangan domestik
Menurut Aida, selain data-data tersebut, BI juga akan mencermati perkembangan terkini terkait pasar finansial. Meski pada minggu pertama bulan April aliran dana asing di pasar surat utang negara dan pasar saham mencatatkan dana masuk, namun sepanjang bulan April, dana –dana asing tercatat keluar dari pasar keuangan Indonesia.
Catatan KONTAN, sampai 25 Mei, dana-dana asing yang keluar dari pasar saham mencapai Rp 40 triliun lebih. Adapun di pasar surat utang negara, asing juga masih terus mengurangi kepemilikannya. Sampai 24 Mei, kepemilikan asing di surat utang kembali turun menjadi Rp 829,81 triliun, atau mencuil 37,89%.
Menurut Nanang, meski asing keluar, BI memastikan likuiditas valas dan rupiah terjaga. “Kami selalu hadir di pasar saat dibutuhkan,” ujar dia. BI siap menyuplai valas sekaligus rupiah baik di pasar saham maupun pasar surat utang negara.
Bank sentral, menurut Nanang, akan masuk ke pasar keuangan secar terukur., Ini pula yang membuat cadangan devisa tetap dalam kondisi kuat, yakni per April mencapai US$ 124,9 miliar. Jumlah ini sanggup untuk membiayai 7,7 bulan impor dan pembayaran utang pemerintah, jauh di atas standar internasional yakni cukup untuk membiayai 3 bulan impor.
Tak hanya itu, di industri perbankan, di tengah pelemahan nilai tukar, rasio kecukupan modal perbankan Indonesia masih kuat yakni mencapai 22,5% dengan rasio likuditas di 21,2% per Marer 2018. Sementara kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) di menjadi 2,75% secara gross dan net 1,25% net. Adapun kredit di periode tahunan(yoy) Maret tumbuh 8,5%. Adapun simpanan tumbuh melambat menjadi 7,7% dibandingkan bulan sebelumnya mampu tumbuh 8,5%.
Dus kombinasi data global dan lokal inilah yang akan menjadi pegangan bank sentral dalam menentukan arah suku bunga ke depan.
Risiko eksternal dengan kenaikan FRR yang diperoyeksi lebih agresif bisa tiga atau empat kali, peningkatan yield treasury bond AS, perkembangan perang dagang AS dan China serta isu geopolitik akan menjadi pegangan bank sentral.
BI juga akan menjaga stabilitas ekonomi perekonomian, khususnya, inflasi dan nilai tukar rupiah. Artinya, BI akan terus mendukung upaya-upaya pertumbuhan ekonomi. Seperti kata Gubernur BI Perry Warjiyo usai pelantikan: “Saya pro stability, tetapi juga pro growth." Kebijakan kombinasi bakal dilakukan bank sentral untuk mengakselarasi dua kepentingan tersebut.
Hanya menurut Aida, jika dihadapkan pada situasi yang sulit, BI akan menjaga stabilitas menjadi pilihan utama dulu. Sebab: “Jika tak ada stabilitas, maka tidak ada growth,” ujarnya.
Rapat tambahan dewan gubernur BI tanggal 30 Mei ini jelas sudah menimbulkan ekspektasi sekaligus spekulasi di banyak kalangan. Pemburu rente jelas punya ekspektasi imbal hasil portfolionya tak tergerus, kenaikan suku bunga akan membuat margin mereka lebih lebar.
Di sisi lain, kenaikan suku bunga acuan bisa menjadi ancaman bagi pertumbuhan. Dampak kenaikan bunga acuan akan menimbulkan efek gulir kenaikan suku bunga pinjaman yang ujung-ujungnya bisa membuat cost ekspansi swasta dan konsumsi lokal terhambat. Efek lanjutannya lagi bisa mengerem laju ekonomi yang tengah dalam posisi menuju take off.
Mana yang bakal menjadi pilihan bank sentral? Bank sentral tentu punya pilihan matang mana yang akan dimenangkan (baca: diutamakan). Seperti kata Pak Perry, Gubernur BI baru: Bank sentral pro stabilitas tapi juga pro growth.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News