Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Wakil Presiden Boediono mengatakan, pemberian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tak ada artinya bagi konstituen. Hal itu diungkapkannya menanggapi kritik ataupun kecurigaan berbagai pihak terkait program BLSM.
Pemerintah akan memberikan BLSM kepada sekitar 15,5 juta keluarga sasaran. Masing-masing akan mendapat Rp 150.000 per pulan selama empat bulan.
"Kalau masih ada yang mengkhawatirkan (BLSM), perlu dipikirkan, kalau Rp 150.000 selama 4 bulan itu enggak ada artinya bagi konstituen kita," kata Boediono saat jumpa pers di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (18/6).
Jumpa pers digelar seusai Wapres memimpin rapat bersama para menteri dan pimpinan instansi terkait membahas hasil pengesahan UU APBN-P 2013. Menteri yang hadir di antaranya Menteri Keuangan Chatib Basri, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh.
Boediono mengatakan, masyarakat sudah sangat cerdas. Uang sebesar Rp 150.000, kata dia, tidak ada artinya untuk mempengaruhi pilihan mereka di Pemilu 2014. Terlebih lagi, BLSM hanya 4 bulan, tidak mendekati pelaksanaan pemilu.
Jika masih ada pihak yang mencurigai BLSM, Wapres mengatakan, "Berarti tidak menghargai kecerdasan masyarakat kita yang sudah sangat rasional dalam memilih."
Boediono menambahkan, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa rakyat miskin akan terpukul ketika ada kenaikan harga BBM. Setidaknya, kondisi ini akan terjadi 3-4 bulan karena kenaikan harga-harga. Setelah itu, kondisi akan kembali normal.
Oleh karena itu, tambah Boediono, pemerintah membuat program BLSM seperti program bantuan langsung tunai (BLT) dulu. Hanya, kata dia, sasaran BLSM akan lebih baik daripada BLT.
Mereka yang mendapatkan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) untuk mencairkan BLSM, kata Boediono, berasal dari survei Badan Pusat Statistik. Data BPS kemudian diperbarui dan dikonsultasikan dengan pemda, terutama di tingkat desa dan kelurahan.
"Akhirnya kita dapat suatu daftar penduduk Indonesia sampai dengan 40 persen paling bawah tingkat kesejahteraannya. Datanya ada per keluarga, alamat, nama, dan sebagainya. Jadi, ini tidak ada aspek politik. Semua didasarkan survei obyekif BPS dan tidak ada motif untuk itu," papar Boediono. (Sandro Gatra/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News