kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Presiden membutuhkan obat kuat


Rabu, 19 Juni 2013 / 08:52 WIB
Presiden membutuhkan obat kuat
ILUSTRASI. Customer Service IFG Life melayani nasabah usai peresmian Customer Center yang berlokasi di Gedung Graha Niaga Jakarta, Rabu (24/11). ./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/24/11/2021.


Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Kewenangan menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi sejatinya ada di tangan presiden sejak awal tahun 2013. Namun ternyata itu tidak cukup. Presiden butuh ”obat kuat” untuk bisa melakukannya.

Pasal 8 Ayat 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2013 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi. Namun setelah lima bulan berjalan, presiden tidak menggunakan kewenangan itu.

Padahal, dari sisi momentum, kenaikan harga BBM bersubsidi paling tepat justru di saat itu, manakala inflasi cenderung lebih rendah dibandingkan misalnya Juli-Agustus. Toh presiden memiliki pemikiran dan kepentingan lain.

Presiden berketetapan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi hanya akan diambil kalau ada program kompensasi untuk rakyat miskin. Kepastian adanya dana kompensasi menjadi prasyarat bagi presiden untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Inilah obat kuat yang diperlukan.

Pertanyaannya, kenapa program kompensasi tidak dialokasikan pada APBN Tahun 2013 agar eksekusinya bisa di awal tahun sehingga rakyat miskin tidak terpukul? Namun nasi sudah menjadi bubur.

Singkat kata, pemerintah baru mengusulkan program kompensasi pada Rancangan APBN-P Tahun 2013. Maka dengan disahkannya rancangan itu pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Senin (17/6) pukul 22.15 WIB, presiden tentunya lega.

”Obat kuat” itu sudah di tangan. Ada lima varian program dengan alokasi dana Rp 30 triliun. Salah satunya adalah program bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebesar Rp 9,3 triliun untuk 15,5 juta rumah tangga miskin.

Harga Premium akan naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter. Solar akan naik dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 5.500 per liter. Begitu harga BBM bersubsidi naik, inflasi pasti naik karena selain faktor kenaikan harga BBM bersubsidi, ada dua variabel pemicu inflasi lainnya yang datang pada waktu bersamaan; kegiatan masyarakat pada bulan Ramadhan dan tahun ajaran baru.

Mengacu perhitungan Bank Indonesia (BI), inflasi akan melambung di atas 8 persen. BI melalui bauran kebijakannya yakin mampu menurunkan inflasi sampai 7,76%. Pemerintah optimistis bisa menekan inflasi ke 7,2%.

Setiap momentum kenaikan harga BBM bersubsidi maupun penyaluran kompensasi, selalu saja potensial dikapitalisasi untuk kepentingan politik jangka pendek. Apalagi Pemilihan Umum 2014 kian dekat. Jika potensi ini mewujud, anggap saja angin yang berembus.

Harga BBM memang seyogianya naik. Ini demi masa depan yang lebih baik setelah penguasa melakukan blunder pada tahun 2009, yakni menurunkan harga BBM bersubsidi. Yang jelas, presiden sudah punya program kompensasi. Jadi tunggu apa lagi. (FX Laksana Agung S/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×