Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ambisi Indonesia untuk menjadi negara maju di tahun 2045 dapat terwujud dengan langkah-langkah reformasi secara menyeluruh. Mulai dari reformasi struktural hingga reformasi fiskal, termasuk reformasi perpajakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sebagai salah satu bagian penting dari UU HPP, pajak penghasilan (PPh) direformasi baik dari sisi kebijakan maupun administrasinya. Tujuan utama reformasi PPh dalam UU HPP adalah membentuk sistem PPh yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum sehingga dapat memperluas basis pajak serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
"Upaya ini dilakukan dengan tetap menjaga keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat luas dan dinamika perekonomian di masa depan,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, Kamis (14/10).
Febrio mengatakan reformasi struktural untuk mendukung visi Indonesia Maju 2045 telah dilakukan secara bertahap dengan reformasi APBN sebagai pengaktif atau enabler. Ia menekankan reformasi struktural dilakukan untuk menuju ekonomi Indonesia yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing, serta mampu membuka lapangan pekerjaan secara masif dan berkualitas.
Baca Juga: Penjelasan Ditjen Pajak soal penerapan azas ultimum remedium di UU HPP
Di samping itu, kata Febrio, Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, termasuk aturan turunannya seperti kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan UMKM, pembentukan Indonesia Investment Authority (INA), Online Single Submission (OSS), dan aturan lainnya menjadi pijakan reformasi struktural tersebut.
Sementara itu, reformasi fiskal untuk mendukung reformasi struktural dilakukan dari sisi belanja dan penerimaan. Dari sisi belanja, APBN mendukung implementasi program produktif.
Seperti pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan secara masif setidaknya dalam enam tahun terakhir, penguatan belanja pendidikan dan kesehatan, serta reformasi perlindungan sosial sepanjang hayat yang tentunya akan memiliki manfaat jangka panjang bagi perekonomian.
Dari sisi penerimaan, lahirnya UU HPP menjadi pijakan yang kuat untuk mendorong pelaksanaan reformasi fiskal dengan mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan berkepastian hukum.
Menurut Febrio, penguatan sistem perpajakan akan memperkuat fungsi APBN terutama dalam pembangunan jangka panjang. Termasuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur, mendorong pemulihan ekonomi nasional, serta redistribusi pendapatan.
Di bidang pajak penghasilan, upaya tersebut dilakukan melalui perbaikan kebijakan seperti insentif bagi wajib pajak (WP) UMKM, perbaikan progresivitas tarif PPh orang pribadi (OP), serta perbaikan administrasi. Di antaranya penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP) untuk WP OP.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan, UU HPP meningkatkan keberpihakan kepada WP UMKM. Hal ini dilakukan melalui pemberian insentif berupa batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) atas peredaran bruto WP OP UMKM sampai Rp 500 juta setahun.
"Artinya, WP OP UMKM yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp 500 juta setahun tidak membayar PPh,” kata Suryo, Kamis (14/10).
Lebih lanjut, Suryo mengatakan, WP badan UMKM tetap mendapatkan fasilitas diskon tarif PPh 50% sesuai Pasal 31E UU PPh. Dukungan perpajakan ini diharapkan dapat meningkatkan daya tahan dan daya saing usaha UMKM di Indonesia.
Selanjutnya, UU HPP memperbaiki progresivitas tarif PPh OP dengan memperlebar rentang lapisan penghasilan kena pajak (PKP) untuk tarif PPh OP terendah (5%) dan menambah lapisan tarif PPh OP tertinggi (35%). Pemerintah menyepakati usulan DPR RI untuk memperlebar rentang lapisan PKP OP yang dikenai tarif PPh terendah (5%) dari Rp50 juta menjadi Rp 60 juta.
Pemerintah tetap memberikan batasan PTKP bagi WP OP yang saat ini ditetapkan sebesar Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun untuk OP lajang, tambahan sebesar Rp 4,5 juta setahun diberikan untuk WP yang kawin, dan tambahan sebesar Rp 4,5 juta setahun untuk setiap tanggungan, maksimal 3 orang.
Dengan demikian, masyarakat dengan penghasilan sampai dengan Rp 4,5 juta per bulan tetap tidak terbebani dengan PPh. Sementara masyarakat dengan penghasilan menengah beban pajak penghasilannya menjadi lebih ringan.
Baca Juga: Gelar pengampunan pajak tahun depan, pemerintah tidak pasang target penerimaan