kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penjelasan Ditjen Pajak soal penerapan azas ultimum remedium di UU HPP


Rabu, 13 Oktober 2021 / 05:24 WIB
Penjelasan Ditjen Pajak soal penerapan azas ultimum remedium di UU HPP


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Rezim perpajakan baru segera berlaku setelah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) disahkan DPR. Di UU HPP tersebut salah satunya mengatur juga soal penerapan prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana pajak.

Prinsip ultimum remedium ini intinya menjadikan sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum pajak. Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmardin Noor, azas ultimum remedium dikenal di hukum pidana,  sehingga pada penerapannya pun terkait tindak pidana bukan dalam sengketa pajak.

Menurutnya, penegakan hukum pidana pajak mengedepankan pemulihan kerugian pendapatan negara. Wajib pajak diberi kesempatan untuk mengembalikan kerugian pendapatan negara sebagai pertimbangan untuk dituntut tanpa penjatuhan pidana penjara.

Baca Juga: Tarif PPN naik jadi 11% mulai April 2022, berikut efeknya bagi perusahaan

Dihimpun dari Kemenkeu.go.id, tercatat sengketa kasus pajak di pengadilan sebanyak 14.660 kasus di tahun 2000, naik dari tahun 2019 yang sebanyak 12.882 kasus. Adapun dari kasus jumlah kasus yang disengketakan, mayoritas berhasil dimenangkan wajib pajak dengan jumlah sebanyak 4.598 kasus, dikabulkan sebagian sebanyak 2.282 kasus. 

Sementara itu, kasus yang dimenangkan Ditjen Pajak sebanyak 2.507 sengketa. Selebihnya, kasus yang tidak dapat diterima sebanyak 573 kasus, dicabut 141 kasus, dan ditambah kewajiban pajaknya hanya 6 kasus.

Neilmaldrin mengatakan, penerapan ultimum remedium terhadap fiskus yang melakukan tindak pidana pajak dengan pelaku yang bukan fiskus, akan dikenakan terhadap pelaku pidana tanpa melihat statusnya.

“Dengan demikian, fiskus yang berstatus tersangka tindak pidana pajak akan memiliki hak yang sama untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sesuai Pasal 8 ayat (3) UU KUP  ataupun penghentian penyidikan sesuai dengan pasal Pasal 44B UU KUP yang telah diubah melalui UU Cipta Kerja,” imbuh Neilmaldrin.

Ketentuan dalam Pasal 44B tersebut pada intinya mengatur tentang wewenang menteri keuangan untuk meminta jaksa agung menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan demi kepentingan penerimaan negara.

Selanjutnya: UMKM bakal tarik PPN final sebesar 1% sampai 3%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×