Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Posisi utang pemerintah diproyeksikan akan mencapai Rp10.360 triliun pada akhir tahun 2026.
Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai, pelebaran defisit dari Rp 638,81 triliun dalam RAPBN menjadi Rp 689,15 triliun dalam APBN 2026 menunjukkan ketergantungan besar pemerintah terhadap instrumen utang. Rasio defisit pun meningkat dari 2,48% menjadi 2,68% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Untuk mengatasi defisit, pemerintah jelas mengandalkan utang. Bahkan, jumlah utang yang direncanakan lebih besar dari defisit, karena ada pembiayaan investasi yang tidak termasuk belanja negara,” ujar Awalil dalam keterangannya, Kamis (25/9/2025).
Baca Juga: Belanja Pemerintah Lambat, Tapi Penarikan Utang Tetap Ngebut, Begini Risikonya
Adapun tahun depan target pendapatan negara juga dinaikkan dari Rp 3.147,68 triliun menjadi Rp 3.153,58 triliun, atau naik 10,05% dibanding outlook APBN 2025 sebesar Rp 2.865,5 triliun. Awalil menilai target ini terlalu optimistis.
Ia menilai, pendapatan negara selama dua dekade terakhir memang cenderung meningkat, tapi dalam lima tahun terakhir laju pertumbuhannya menurun drastis.
“Kenaikan outlook 2025 saja hanya 0,05%. Jadi sulit berharap lonjakan tinggi di 2026,” jelasnya.
Di sisi lain, belanja negara juga meningkat dari Rp 3.786,49 triliun menjadi Rp 3.842,73 triliun. Angka ini naik 8,94% dari outlook 2025. Menurut Awalil, tren tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan efisiensi.
Ia menilai, memang tren belanja meningkat memang wajar, tapi laju hampir 9% menunjukkan pemerintah masih mengedepankan ekspansi belanja, meskipun ada wacana efisiensi.
Baca Juga: Pemerintah dan DPR Sepakat Setop Strategi Pertumbuhan Ekonomi Berbasis Utang
Lebih lanjut, ia juga menyoroti terkait pembiayaan utang ditetapkan sebesar Rp 832,21 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dibanding RAPBN karena ada pelebaran defisit. Rinciannya berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto Rp799,53 triliun dan pinjaman Rp32,67 triliun.
Awalil menegaskan bahwa nilai pembiayaan utang tersebut merupakan tambahan utang neto. Sementara itu, pelunasan pokok utang yang jatuh tempo diperkirakan mencapai Rp 800 triliun. Dengan begitu, total penarikan utang bruto pada 2026 bisa mencapai Rp 1.600 triliun.
“Kalau dihitung, posisi utang pemerintah yang per akhir 2024 sudah mencapai Rp 8.813 triliun akan terus naik. Ditambah outlook pembiayaan neto 2025 sebesar Rp 715,5 triliun, maka di 2026 posisi utang bisa menembus Rp 10.360 triliun,” terang Awalil.
Ia menambahkan, jika defisit APBN 2026 benar mencapai 2,68% dari PDB, maka dua tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo akan ditandai oleh rasio defisit yang lebih lebar dibandingkan era sebelumnya, kecuali saat pandemi Covid-19.
Rata-rata rasio defisit pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2005-2014) hanya sebesar 1,19%. Pada era Joko Widodo pertama (2015-2019) meningkat menjadi 2,32%. Saat pandemi, melonjak menjadi 6,14% (2020) dan 4,57% (2021). Kemudian bisa diturunkan menjadi 2,35% (2022), 1,61% (2023) dan 2,30% (2024).
“Untuk mengatasi atau membiayai defisit diperlukan penerimaan pembiayaan dengan nilai setara, yang disebut sebagai item pembiayaan anggaran,” tandasnya.
Selanjutnya: Rupiah Spot Ditutup Melemah 0,38% ke Rp 16.749 pada Kamis (25/9/2025)
Menarik Dibaca: Promo Gajian The Body Shop 25-30 September 2025, Serum-Lip Balm Diskon hingga 40%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News