Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Realisasi penyerapan belanja negara masih lambat hingga Agustus 2025. Sementara penarikan utang baru terus meningkat.
Hal ini dinilai dapat mengganggu keseimbangan fiskal pemerintah, hingga berisiko menimbulkan efek domino ke ekonomi domestik.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penyerapan belanja negara sampai dengan 31 Agustus 2025 mencapai Rp 1.388,8 triliun, atau baru terserap 55,6% dari pagu.
Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi belanja negara periode yang sama tahun 2024 yang sebesar Rp 1.930,7 triliun dengan penyerapan 57,7% dari pagu.
Di sisi lain, penarikan utang baru masih terus berjalan on track, dengan realisasi lebih cepat secara tahunan. Sampai dengan 31 Agustus 2025, pemerintah sudah menarik utang baru sebesar Rp 463,7 triliun, atau sudah terealisasi 59,8% dari target pagu.
Jumlah ini lebih besar dibandingkan realisasi penarikan utang pada periode yang sama tahun 2024 yang terserap 53,6% dari target atau sekitar Rp 347,6 triliun.
Baca Juga: Target Pertumbuhan Ekonomi di RAPBN 2026 Dinilai Sulit Tercapai, Ini Sebabnya
Perlambatan belanja pemerintah pusat dipicu melambatnya penyerapan belanja Kementerian/Lembaga (K/L), yakni baru terserap 53,8% dari pagu APBN 2025 atau sebesar Rp 686 triliun. Sebagai perbandingan, pada akhir Agustus 2024, penyerapan belanja K/L mencapai 64,5% atau sebesar Rp 703,3 triliun.
Selain itu, belanja pemerintah daerah justru terkontraksi dalam, padahal Transfer ke Daerah (TKD) tetap berjalan sesuai target. Realisasi belanja untuk TKD sampai 31 Agustus mencapai Rp 571,5 triliun atau sudah terserap 62,1% dari pagu APBN 2025.
Realisasi ini lebih tinggi dibandingkan Agustus 2024. Namun belanja daerah lebih lambat, terkontraksi 14,1% secara tahunan (year on year/yoy).
Data Kemenkeu menunjukkan belanja daerah (APBD) terkontraksi 14,1% yoy. Hal ini disebabkan oleh belanja pegawai yang turun 1,5% yoy menjadi Rp 281 triliun, belanja barang dan jasa turun 10,6% yoy menjadi Rp 170,1 triliun, belanja modal anjlok 32,6% yoy menjadi Rp 44,9 triliun, dan belanja lainnya juga turun 30,7% yoy menjadi Rp 128,4 triliun.
Persoalan Klasik
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman mengatakan, lambatnya belanja negara hingga Agustus menunjukkan adanya persoalan klasik dalam implementasi APBN, terutama keterlambatan administrasi proyek, proses pengadaan, serta lemahnya planning–execution. Sehingga kondisi ini berdampak pada menumpuknya cash balance di kas negara, sementara penarikan utang terus berjalan sesuai jadwal.
“Artinya ada mismatch, pemerintah sudah menambah kewajiban fiskal lewat utang, tetapi output belanja belum terealisasi. Dalam jangka pendek, ini bisa menjaga likuiditas pasar SBN dan kestabilan fiskal, namun dalam jangka menengah menimbulkan carry cost karena bunga utang harus dibayar tanpa diimbangi akselerasi pertumbuhan dari belanja,” jelas Rizal kepada Kontan, Rabu (24/9/2025).
Baca Juga: Belanja Daerah Melambat, Kontraksi 14,1% yoy Agustus, Pemda Tumpuk Dana di Perbankan
Rizal menduga jika pola ini berlanjut, sangat mungkin hingga September serapan belanja masih belum optimal. Hal ini bercermin dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya dimana belanja sering menumpuk di kuartal IV, sehingga kuartal III relatif lemah.
"Dampaknya, dorongan fiskal terhadap PDB kuartal III menjadi terbatas, khususnya untuk konsumsi pemerintah dan investasi publik. Pertumbuhan Kuartal III 2025 bisa tertahan di kisaran moderat, padahal stimulus fiskal seharusnya menjadi countercyclical tool di tengah ketidakpastian global," ungkap Rizal.
Lebih jauh, risiko yang muncul membuat efek domino berupa daya dorong APBN ke ekonomi rill berkurang, multiplier effect ke konsumsi masyarakat tidak optimal, dan target pertumbuhan bisa meleset dari asumsi RAPBN.
Baca Juga: Ekonom Menilai Indikatof Fiskal APBN Agustus 2025 Cerminkan Ekonomi Domestik Tertekan
Selanjutnya: Regulasi Rumit Gagalkan Transaksi Merger dan Akuisisi di Australia
Menarik Dibaca: 6 Makanan yang Tidak Boleh Dimakan bersama Madu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News