kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Utang luar negeri sektor manufaktur naik 4,26%


Kamis, 18 September 2014 / 17:23 WIB
Utang luar negeri sektor manufaktur naik 4,26%
ILUSTRASI. Serial Beef dan beberapa judul serial terbaru dari Netflix yang dijadwalkan tayang pada minggu ini.


Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Industri manufaktur dalam negeri saat ini sedang berkembang. Tumbuhnya industri manufaktur ini ternyata berdampak pada catatan utang luar negeri (ULN). Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) pada sektor ini naik 4,26% menjadi US$ 33,35 miliar pada bulan Juli.

Sebelumnya pada bulan Juni ULN sektor manufaktur sebesar US$ 31,99 miliar. Pertumbuhan ULN sektor manufaktur pada Juli tercatat sebesar 15,3% secara year on year (yoy) atau lebih rendah dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 15,8% (yoy).

Tidak heran ULN swasta secara keseluruhan pada bulan Juli mencapai US$ 156,41 miliar atau naik 2,08% dibanding bulan Juni yang sebesar US$ 153,22 miliar. ULN secara keseluruhan pun mencapai US$ 290,57 miliar.

Kepala Ekonom BII Juniman berpendapat, sektor manufaktur masih tumbuh di Indonesia. Berbeda dengan sektor pertambangan dan penggalian yang mengalami penurunan.

Menurut Juniman, sektor manufaktur banyak komponennya baik bahan baku atau barang modal yang diperoleh melalui impor. Mereka pun biasanya memilih untuk berutang dalam dedominasi valuta asing (valas) dolar Amerika Serikat (AS). 

Permasalahannya adalah karakteristik manufaktur itu pendapatannya sebagian besar dalam bentuk rupiah. "Inilah yang istilahnya harus diwaspadai," ujar Juniman ketika dihubungi KONTAN, Kamis (18/9).

BI hendaknya dapat mengkaji ulang utang sektor manufaktur digunakan untuk apa saja. Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor sektor industri pada Januari-Juli 2014 mencapai US$ 68,51 miliar atau naik 3,38% dibanding periode yang sama tahun lalu. 

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mejelaskan, tidak semua pendapatan sektor manufaktur dalam bentuk rupiah. Ada sektor manufaktur yang kesehariannya sebagai eksportir.

Alasan korporasi melakukan pinjaman luar negeri adalah ketersediaan pembiayaan di dalam negeri yang minim karena Loan to Deposit Ratio (LDR) yang tinggi. "Funding luar negeri ini yang harus kita kelola risikonya," tandas Mirza.

Untuk mengelola risiko tersebut, Mirza mengakui, pasar valas harus lebih dalam. Di sisi lain, transaksi swap harus tersedia sehingga BI pun memperdalam pasar swap.

Selain itu, BI pun mengatur aset valas terhadap utang dalam bentuk valas. Asal tahu saja, BI saat ini sedang meggodok aturan rasio liabilitas atau utang dalam bentuk valas dibanding aset dalam bentuk valas. 

Salah satu pertimbangannya adalah ada swasta non eksportir yang tidak mempunyai penghasilan dalam valas lalu melakukan pinjaman luar negeri. Kalau swasta eksportir yang penghasilannya dalam valas, sudah ada natural lindung nilai atawa hedging sehingga risiko perbedaan nilai tukar menjadi aman.

Pemerintah yaitu Kementerian Keuangan (Kemkeu) pun mengkaji soal Debt Equity Ratio (DER) yang dibuat berdasarkan sektor. Sektor manufaktur akan menjadi sektor yang mempunyai rasio utang rendah karena dianggap tidak memerlukan rasio utang yang tinggi seperti sektor perbankan.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai ULN swasta sudah harus dikontrol. Khusus untuk manufaktur, aspek yang perlu diperhatikan adalah tenor pengambilan utang apakah jangka panjang atau jangka pendek.

Kalau sektor manufaktur berutang untuk proyek jangka panjang, namun utang yang diambil dominasinya adalah utang jangka pendek tentu berbahaya. BI hendaknya dapat melihat hal tersebut dan menjadi acuan dalam mengendalikan utang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×