Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah hanya mempunyai waktu tiga bulan lagi menjelang akhir tahun 2019. Dalam waktu yang terbatas ini, pemerintah berupaya menegakkan administrasi pajak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jendral Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan extra effort yang pemerintah lakukan adalah melakukan pengawasan sampai penagihan kepada Wajib Pajak (WP).
Baca Juga: Penerimaan pajak merosot, begini strategi Kemenkeu kejar target
Terlebih untuk mengawasi efektifitas WP yang patuh mengajukan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, Hestu bilang pihaknya berupaya melakukan pendekatan dari WP Orang Pribadi (OP) sampai WP Badan.
“Kami mendata WP yang sudah lapor dan yang belum, pengawasan kami berbasis data,” kata Hestu kepada Kontan.co.id, Selasa (3/10).
Di sisi lain, Hestu bilang penerapan compliance risk management (CRM) menjadi salah satu strategi jangka pendek DJP menuju deadline akhir tahun. CRM merupakan kelanjutan dari program tax amnesty dan transparansi informasi keuangan.
Dari sana, DJP dapat menyusun daftar sasaran prioritas penggalian potensi WP secara spesifik. Sehingga, berguna untuk kegiatan pemeriksaan dan pengawasan WP. “Ini merupakan upaya optimalisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh), khususnya PPh 25,” ujar Hestu.
Sebab, Hestu menilai kondisi perekonomian Indonesia saat ini belum membaik. Sehingga penghasilan WP tidak setinggi tahun-tahun lalu. Menurutnya dengan PPh pasal 25 yang dibayar secara angsuran pemerintah dapat mengejar setoran pajak, tanpa mengesampingkan keadaan ekonomi saat ini.
Baca Juga: Catat, begini cara menghitung pajak progresif kendaraan
“Tujuannya adalah untuk meringankan beban WP, mengingat pajak yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun,” ujar Hestu.
Selanjutnya, Hestu memaparkan CRM dapat difungsikan sebagai penagihan pajak lewat surat paksa. Sehingga, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dapat menentukan prioritas penagihan yang mengacu Daftar Prioritas Tindakan Penagihan Pajak (DPTPP).
Hestu menambahkan, efektifitas extra effort DJP secara musiman paling tinggi menjelang akhir tahun. Dengan strategi jangka pendek tersebut, Hestu optimistis pemerintah bisa mengejar setoran pajak.
Di sisi lain, Mantan Menkeu Chatib Basri dalam tulisannya di Harian Kompas beberapa hari lalu mengatakan untuk memperbaiki hambatan penerimaan pajak diperlukan reformasi jangka panjang.
Namun, dalam jangka menengah-pendek, perbaikan administrasi perpajakan dapat meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan.
Salah satu caranya dengan memindahkan pelayanan badan usaha dari kantor pajak reguler ke kantor pajak madya (MTO) dengan harapan bahwa perlakuan terhadap badan usaha menjadi lebih seragam karena staf di MTO lebih banyak.
Baca Juga: Validasi teknologi dan informasi hambat penerimaan pajak
Menanggapi hal tersebut, Hestu bilang model KPP Madya sudah ada sejak 2007 berdasarkan kebutuhan pajak saat itu yang juga menangani pajak korporasi. Namun, secara wilayah penyebaran KPP Madya belum terlalu luas.
“Tentunya, kami akan pelajari usulan seperti itu, namun nampaknya tidak bisa diaplikasikan secara menyeluruh di sisa tahun ini, mungkin tahun 2020,” ungkap Hestu.
Asal tahu saja, selama Januari-Agustus 2019 penerimaan pajak mencapai Rp 801,16 triliun. Angka tersebut merupakan 50,78% dari target penerimaan pajak tahun 2019 sebesar Rp 1.577,56 triliun.
Bahkan, dari sisi pertumbuhan, dalam delapan bulan tersebut pertumbuhan penerimaan pajak hanya 0,21% jauh dari target sebesar 19%. Di sisi lain, realisasi kepatuhan formal di level 69,3% per akhir September.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News