kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Terseret ancaman resesi global, Bank Dunia: Capital outflow membayangi Indonesia


Sabtu, 07 September 2019 / 06:10 WIB
Terseret ancaman resesi global, Bank Dunia: Capital outflow membayangi Indonesia


Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Resesi global yang ditandai dengan perlambatan ekonomi di sejumlah negara kini mulai membayangi Indonesia. Pasalnya, Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus melemah di tengah perlambatan ekonomi global. 

Dalam riset Bank Dunia bertajuk Global Economic Risks and Implications for Indonesia yang diterima Kontan.co.id Kamis (5/9), Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia akan terus turun di tengah perlambatan ekonomi global.

“Pertumbuhan PDB Indonesia akan berlanjut menurun akibat lemahnya produktivitas dan pertumbuhan tenaga kerja yang melambat,” terang Bank Dunia.

Baca Juga: Sejumlah negara diambang resesi, bagaimana ketahanan ekonomi Indonesia?

Selain itu, menurunnya harga komoditas dunia juga akan semakin menekan perekonomian Indonesia. 

Bank Dunia menggambarkan, setiap 1 poin persentase (percentage point) penurunan ekonomi China, berdampak pada penurunan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 percentage point. 

Pada resesi 2009, misalnya, pertumbuhan ekonomi global turun hingga 6,2% dari tahun 2007, disertai dengan harga komoditas yang jatuh. Saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melambat 1,7%. 

Perlambatan ekonomi global, ditambah perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang berlanjut, potensi resesi ekonomi AS, juga pelemahan ekonomi Eropa dan China, dipandang Bank Dunia bakal memicu arus keluar modal (capital outflow) yang lebih besar. 

“Ini dapat menyebabkan suku bunga acuan Indonesia kembali meningkat dan rupiah terdepresiasi lebih dalam,” lanjutnya. 

Capital outflow tersebut semakin berbahaya lantaran sampai saat ini Indonesia masih mengalami defisit neraca transaksi berjalan (CAD). Kuartal II-2019 lalu, CAD Indonesia mencapai US$ 8,4 miliar atau 3% dari PDB. Defisit ini naik dari US$ 7 miliar atau 2,6% dari PDB pada kuartal pertama.

Bank Dunia memproyeksi, CAD Indonesia di akhir 2019 sebesar US$ 33 miliar, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar US$ 31 miliar. Tambah lagi, pertumbuhan FDI Indonesia juga lesu. Tahun ini, Bank Dunia perkirakan FDI Indonesia hanya US$ 22 miliar.

Dengan kondisi ini, Bank Dunia memperkirakan dibutuhkan setidaknya US$ 16 miliar per tahun inflow pembiayaan eksternal untuk menutup gap defisit tersebut. 

Baca Juga: Bank Dunia: Defisit Indonesia naik, capital outflow membahayakan ekonomi Indonesia

“Pembiayaan eksternal yang dibutuhkan bisa lebih banyak jika capital outflow yang diprediksi benar-benar terjadi,” terang Bank Dunia.

Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin tertekan sepanjang tahun ini di tengah perlambatan ekonomi global. 

Selain risiko perekonomian dan geopolitik global yang makin tinggi, tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia juga disebabkan oleh lemahnya produktivitas dan pertumbuhan tenaga kerja yang melambat.

Di samping itu, Bank Dunia menilai, pelemahan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga disebabkan oleh upaya penurunan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). 

Bank Dunia memandang, penurunan CAD bukan solusi utama untuk menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. “Solusinya adalah meningkatkan foreign direct investment (FDI),” terang Bank Dunia dalam riset yang diterima Kontan.co.id, Kamis (5/9).

Bank Dunia menyebut, penurunan CAD sama dengan penurunan pertumbuhan PDB. Secara teori, neraca transaksi berjalan merupakan tabungan (savings) dikurangi investasi (investment). 

Untuk mengurangi CAD, Indonesia membutuhkan kombinasi tingkat tabungan yang lebih tinggi dan investasi yang lebih rendah.

Tingkat tabungan yang lebih tinggi artinya masyarakat lebih sedikit melakukan konsumsi. Sementara, investasi yang lebih rendah berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi baik untuk saat ini maupun di masa depan. 

Pada dasarnya, Bank Dunia mengatakan, mengimpor modal untuk membiayai pertumbuhan investasi yang lebih tinggi bukanlah masalah. 

“Yang menjadi masalah adalah Indonesia membiayai CAD dengan arus modal yang volatile dari investor portofolio,” terang Bank Dunia. 

Baca Juga: Bank Dunia: Indonesia terancam mengalami capital outflow besar

Seharusnya, pengurangan CAD dipacu oleh arus masuk modal yang lebih stabil seperti FDI yang berorientasi ekspor. Selain tidak mudah keluar dan masuk layaknya investasi portofolio, FDI juga menciptakan lapangan pekerjaan di dalam negeri yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. 

Sayang, sampai saat ini arus masuk FDI ke Indonesia kecil.

Dalam lima tahun terakhir, Bank Dunia mencatat, rata-rata arus masuk FDI ke Indonesia hanya 1,9% terhadap PDB. Level ini jauh di bawah Kamboja yang 11,8% dari PDB, Vietnam 5,9%, Malaysia 3,5%, dan Thailand 2,6% terhadap PDB. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×