Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan mengaku sudah menerima usulan penambahan subsidi energi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Usulan ini akan segera diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibahas.
Dalam membuat keputusan ini, pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit: menambah subsidi untuk meningkatkan daya beli masyarakat, atau mempertahankan prestise di mata lembaga rating dunia.
Namun demikian, langkah ini setidaknya belum dipandang negatif oleh Moody's Investors Service. Assistant Vice-President – Analyst Sovereign Risk Group of Moody’s Investors Service Anushka Shah mengatakan, apabila hal ini diimplementasikan maka akan merepresentasikan pembalikan dari reformasi fiskal yang dilakukan oleh pemerintah dan menunjukkan tantangan kekuatan kelembagaan.
Ia mengatakan, penilaian Moody's atas profil kredit di Indonesia mempertimbangkan beberapa faktor, salah satunya ketidakpastian kebijakan terkait dengan proses reformasi.
“Namun, beberapa fitur mendasar, termasuk rasio utang pemerintah, ukuran ekonomi yang besar, dan prospek pertumbuhan yang sehat masih akan tetap terjaga melalui ketidakpastian reformasi ini,” kata Anushka kepada KONTAN, Rabu (7/3).
Meski begitu, lanjutnya, apabila tindakan tersebut memiliki dampak yang material dan merugikan keuangan pemerintah, Moody's akan menganggap hal tersebut negatif bagi rating. Dia mencontohkan, munculnya risiko contingent liabilities atau mengakibatkan ketidakseimbangan ke lingkungan makroekonomi.
Anushka bilang, keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga bensin tidak akan berdampak langsung pada posisi fiskal. Sebab, kerugian ini akan ditanggung Pertamina lebih dulu. Berdasarkan catatannya, kerugian Pertamina atas hal ini per 30 September 2017 mencapai US$ 1,2 miliar.
“Meskipun hal ini dapat menimbulkan risiko kontinjensi (contingent risks), kami tidak mengharapkan pemerintah untuk mendukung perusahaan minyak nasional mengingat neraca Pertamina relatif kuat,” jelasnya.
Adapun sehubungan dengan listrik, usulan untuk tidak menaikkan harga mungkin berdampak pada neraca pemerintah. Berdasarkan catatannya, selama sembilan bulan pertama tahun 2017, kompensasi pemerintah kepada PLN untuk biaya pemulihan rendah (cost under-recovery) adalah Rp 36,190 triliun atau sekitar US$ 2,6 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News