kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penambahan subsidi paling masuk akal


Rabu, 07 Maret 2018 / 13:37 WIB
Penambahan subsidi paling masuk akal
ILUSTRASI. BBM Pertalite


Reporter: Anggar Septiadi, Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit: menambah subsidi untuk meningkatkan daya beli masyarakat, atau mempertahankan prestise di mata lembaga rating dunia. Itulah implikasi dari kenaikan kenaikan harga minyak dunia.

Sejauh ini, pemerintah memilih langkah pragmatis, yakni menambah anggaran subsidi kendati tak populis di mata lembaga rating. Kementerian Keuangan sudah menerima usulan penambahan subsidi energi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan akan diserahkan ke DPR untuk dibahas.

Dua anggaran subsidi yang akan ditambah. Pertama, menambah subsidi solar dari saat ini Rp 500 per liter menjadi Rp 700-1.000 per liter. Kedua, menambah subsidi listrik yang nilainya masih dihitung.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menandaskan rencana ini tidak mengganggu agenda reformasi subsidi pemerintah. "APBN masih cukup. Dengan demikian, subsidi akan ditambah, neraca PLN dan Pertamina tetap terjaga, dan masyarakat tetap mendapatkan harga tetap," kata Sri Mulyani, Selasa (6/3).

Pengusaha juga mendukung pilihan pemerintah. "Kalau ingin menjaga inflasi, subsidi harus ditambah," kata Kyaatmaja Lookman, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia.

Namun, sikap sejumlah ekonom terbelah atas pilihan penambahan anggaran subsidi. Head of Industry and Regional Research Department Office of Chief Economist Bank Mandiri Dendi Ramdani melihat, pemerintah sebenarnya memiliki tiga opsi menyikapi kenaikan harga minyak.

Pertama, menaikkan subsidi sehingga Pertamina, PLN dan masyarakat tidak terbebani. "Dengan asumsi harga minyak US$ 60 per barel, subsidi sekitar Rp 18,6 triliun," kata Dendi.

Kedua, harga BBM dinaikkan, tapi risikonya popularitas pemerintah turun. Ketiga, membiarkan harga tidak naik tapi tidak menambah subsidi. Artinya, kenaikan harga ditanggung Pertamina dan PLN. Namun, kemampuan dua BUMN terbatas serta akan membatasi ekspansi kedua perusahaan plat merah itu.

Di antara tiga opsi itu, Dendi melihat, penambahan anggaran jadi pilihan paling rasional. Toh, defisit APBN tidak melebar besar, dan porsinya masih di kisaran 2,19%.

Namun, Ekonom Indef Bhima Yudhistira khawatir, penambahan subsidi akan menyulitkan rating Indonesia naik kelas. Padahal, reformasi subsidi energi telah menuai apresiasi positif. "Ini memang trade off yang berat. Kalau BBM dinaikkan, tidak populis. Jadi memang harus ada pengorbanan," kata Bhima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×