Sumber: Antara | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
"Penyanderaan terhadap R di Nusakambangan dilakukan karena yang bersangkutan tidak memiliki iktikad baik untuk menyelesaikan utang pajak sebesar Rp4,7 miliar meskipun dia telah ditahan selama 11 bulan di Lapas Mataram, NTB," kata Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah II Rida Handanu saat menggelar konferensi pers di Aula Lapas Batu.
Menurut dia, utang pajak Rp 4,7 miliar tersebut merupakan tunggakan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai untuk tahun pajak 2007-2010.
Ia mengatakan penyanderaan terhadap R yang merupakan pengusaha di bidang perdagangan eceran sepeda motor baru itu dilakukan setelah berbagai upaya penagihan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak tidak membuahkan hasil.
Selain itu, kata dia, R juga tidak mengindahkan tawaran untuk mengikuti program Amnesti Pajak yang akan menghapus sanksi administrasi.
"Oleh karena itu, Ditjen Pajak terpaksa melakukan tindakan penyanderaan pada April 2016 yang kemudian diperpanjang pada Oktober 2016 untuk enam bulan kedua," katanya.
Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I Yoyok Satiotomo yang turut hadir dalam kegiatan tersebut menyatakan rencananya memindahkan seorang penunggak pajak dari Bandung ke Nusakambangan.
"Kami masih menunggu persetujuan dari pusat, mungkin minggu depan atau bulan depan akan dipindahkan ke sini," kata Yoyok yang pernah menjabat Kepala Kanwil DJP Jateng II.
Apa yang disampaikan Yoyok pun menjadi kenyataan karena Kanwil DJP Jabar I pada 30 Maret 2017 memindahkan seorang pengusaha apotek berinisial HS dari Lapas Kebon Waru, Bandung, ke Lapas Batu.
HS merupakan wajib pajak orang pribadi yang menunggak pajak sebesar Rp6,5 miliar dan telah dilakukan penyanderaan di Lapas Kebon Waru, Bandung, sejak 9 Mei 2016.
"Kami menilai pemindahan ini merupakan cara efektif untuk memaksa penunggak pajak agar melunasi tunggakan pajaknya. Lapas Batu dianggap dapat memberikan efek jera kepada yang bersangkutan karena lokasinya yang relatif jauh," katanya.
Menurut dia, kondisi tersebut berbeda dengan Lapas Kebon Waru yang dinilai masih terlalu nyaman bagi penunggak pajak karena lokasinya relatif dekat dengan keluarganya sehingga masih mudah dikunjungi.
Yoyok mengatakan tunggakan pajak sebesar Rp 6,5 miliar itu hanya berasal dari apotek milik HS.
"Kelihatannya dia masih punya utang lagi untuk CV-nya (Comanditer Venotschaap). Namun dalam kasus ini (tunggakan pajak untuk usaha apotek, red.) hanya Rp6,5 miliar, utang pajaknya PPN (Pajak Pertambahan Nilai)," katanya.
Ia mengatakan sebenarnya HS mampu membayar tunggakan pajak tersebut karena hingga sekarang, apotek dan CV-nya masih beroperasi namun yang bersangkutan tidak bersedia membayarnya.
Sejak dipindah ke Lapas Batu, HS menempati ruang isolasi yang bersebelahan dengan ruangan yang ditempati penunggak pajak bernisial R.
Akan tetapi selang dua hari setelah R "ditemani" HS di tempat penyanderaanya, pengusaha asal Bima itu bebas dari "gijzeling" karena bersedia mengikuti program Amnesti Pajak sehingga sanksi administrasi dan pidana dihapuskan seluruhnya sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Pengampunan Pajak Nomor 11 Tahun 2016.
Dalam hal ini, R yang bebas pada Sabtu (1/4) itu cukup membayar pokok tagihan dan biaya penagihan sebesar Rp 3,1 miliar.
Dengan demikian, hingga saat ini masih ada seorang penunggak pajak yang menjalani penyanderaan di Lapas Batu, yakni HS.