kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tax Holiday Sudah Tak Efektif, Pengamat: Harus Ada Redesain Insentif Pajak Baru


Rabu, 02 November 2022 / 19:44 WIB
Tax Holiday Sudah Tak Efektif, Pengamat: Harus Ada Redesain Insentif Pajak Baru
ILUSTRASI. Seluruh negara tidak terkecuali Indonesia wajib menerapkan PPh badan dengan tarif minimum 15% pada 2024.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA  Saat ini negara-negara Organisation for Economic Cooperation and Development sedang mematangkan ketentuan mengenai tarif pajak minimum global yang tertuang di dalam Pilar Dua Ketentuan Pajak Global.

Dalam Pilar Dua: Global Anti Base Eresion (GloBE) tersebut mensyaratkan penerapan pajak penghasilan (PPh) korporasi dengan tarif minimum sebesar 15%. 
Pajak minimum tersebut akan diterapkan pada perusahaan multinasional dengan penerimaan di atas EUR 750 juta pada 2023. Dengan begitu, seluruh negara tidak terkecuali Indonesia wajib menerapkan PPh badan dengan tarif minimum 15% pada 2024.

Dengan adanya kesepakatan tersebut, tentu fasilitas insentif pembebasan pajak atau tax holiday sudah tak efektif lagi untuk diberikan oleh pemerintah.

Baca Juga: Pajak Minimum Global Berpotensi Jadikan Tax Holiday Tidak Efektif

Sehingga apabila Indonesia tetap kukuh akan memberikan fasilitas tersebut, maka pemerintah berpotensi akan kehilangan penerimaan dari perusahaan.

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, adanya Pilar Dua mengenai pajak minimum global dapat dipahami sebagai upaya mencegah kompetisi pajak. Melalui skema income inclusion rule dengan minimum, artinya di yurisdiksi manapun suatu investasi dilakukan, maka investor tetap akan dikenakan tarif efektif minimum sebesar 15%.

"Dengan demikian, walau suatu negara memberikan insentif pajak, atas penghematan pajak yang diperoleh tetap dapat dipajaki di negara asal investor tersebut (negara domosili)," ujar Bawono kepada Kontan.co.id, Rabu (2/11).

Oleh karena itu, Bawono mengatakan bahwa adanya pajak minimum global menyebabkan daya tarik dari tax holiday berkurang. Selain itu, atas potensi penerimaan yang hilang dari negara sumber (lokasi investasi) akibat adanya tax holiday justru nantinya dapat dinikmati sebagai sumber penerimaan bagi negara domisili (lokasi asal investor).

Dirinya menilai, skema pajak minimum global lebih berpihak bagi capital exporting countries yang sebagian besar adalah negara maju. Selain itu juga, mengurangi daya saing dari capital importing countries yang sebagian besar adalah negara berkembang.

Dalam Pilar Dua juga terdapat ketentuan Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT), dimana negara sumber tetap dapat memperoleh hak pemajakan utama ketika tarif pajak efektif yang dibebankan suatu investor belum mencapai 15%, semisal akibat mendapat fasilitas tax holiday.

"Dengan demikian, isu potensi penerimaan pajak yang hilang tidak sepenuhnya menguap ke negara asal investor," katanya.

Baca Juga: OECD Dorong Negara Berkembang Evaluasi Tax Holiday

Dalam perkembangan terkini, Bawono menyebut terdapat dua hal yang menarik untuk dicermati dalam kaitannya dengan tax holiday di tengah pajak minimum global. Pertama, perlu dicermati bahwa belakangan ini terdapat riak penolak dan diskusi akademis terkait dampak pajak minimum global bagi daya saing negara berkembang.

Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa skenario pajal minimum global pada dasarnya sedikit bergeser dari kerangka Proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang awalnya ditujuan untuk melawan harmful tax practice yang kerap dilakukan oleh negara tax haven melalui tarif pajak rendah untuk menarik artificial economy activity.

"Artinya, tax holiday yang bertujuan untuk menarik real economic activity harusnya diperbolehkan," ungkap Bawono.

Kedua, kalaupun tetap dijalankan per tahun depan, dirinya bilang bahwa harus ada redesain skema insentif pajak baru. Bawono bilang, saat ini diskusinya mencakup agenda ke arah cost-based tax incentive, pajak pertambahan nilai (PPN), atau insentif yang di area non-pajak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×