Reporter: Leni Wandira | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) menyoroti besarnya potongan pendapatan yang dilakukan oleh perusahaan platform terhadap pengemudi ojek online (ojol), terutama dalam layanan pengantaran makanan dan barang.
SPAI menyebut, potongan yang diambil platform bisa mencapai 70 persen, jauh di atas batas maksimal 20 persen yang ditetapkan pemerintah untuk layanan angkutan penumpang roda dua.
“Kami mendapati potongan platform hingga 70 persen. Seorang pengemudi hanya mendapatkan Rp 5.200 untuk pengantaran makanan, padahal konsumen membayar Rp 18.000 kepada platform,” ungkap Lily Pujiati, perwakilan SPAI dalam keterangannya, Selasa (1/7).
Baca Juga: Kemenhub Membidik Kenaikan Tarif Ojol 8% hingga 15%
Pernyataan ini disampaikan di tengah rencana Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang akan menaikkan tarif ojol sebesar 8–15 persen. Namun, menurut SPAI, kebijakan tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan pengemudi jika potongan dari pihak platform tidak turut dikoreksi.
Lebih lanjut, SPAI menyoroti bahwa pengemudi ojol, taksol (taksi online), dan kurir menanggung berbagai beban operasional harian seperti bahan bakar, pulsa, servis kendaraan, hingga cicilan kendaraan dan perangkat kerja. Dengan potongan yang tinggi dan sistem pembayaran berbasis satuan order, penghasilan mereka jauh dari layak.
SPAI menuntut agar sistem pembayaran per order diganti dengan skema berbasis Upah Minimum Provinsi (UMP)untuk menjamin kepastian pendapatan dan kelayakan hidup. Mereka juga meminta pemerintah untuk menurunkan potongan platform menjadi maksimal 10 persen, atau bahkan menghapusnya.
“Kami ingin upah kami dibayarkan tidak lagi secara satuan order. Kami meminta dibayar sesuai UMP agar ada kepastian pendapatan setiap bulannya,” tegas Lily.
SPAI juga menginginkan keterlibatan serikat pekerja dan komunitas pengemudi dalam setiap proses penyusunan dan pembahasan regulasi yang menyangkut pekerjaan berbasis platform digital.
Selain soal potongan, SPAI menolak berbagai skema internal yang diberlakukan oleh perusahaan platform, seperti slot, aceng (argo goceng), hub, GrabBike Hemat, serta sistem level dan prioritas. Mereka menilai sistem tersebut diskriminatif karena hanya pengemudi tertentu yang mendapatkan prioritas order.
Baca Juga: Kenaikan Tarif Ojol Tak Menjawab Persoalan Utama dalam Ekosistem Transportasi Digital
“Kebijakan ini tidak adil. Pengemudi yang tidak ikut skema-skema itu sulit mendapatkan order,” tambah Lily.
SPAI juga meminta Kementerian Perhubungan untuk menghapus klausul “hubungan kemitraan” dalam regulasi mereka. Sebab, dalam sidang International Labour Conference (ILC) ke-113 yang digelar oleh ILO di Jenewa pada Juni lalu, seluruh negara anggota sepakat menggunakan istilah pekerja platform untuk pengemudi berbasis aplikasi digital.
SPAI mendesak agar Kementerian Ketenagakerjaan segera mengadopsi ketentuan internasional tersebut ke dalam regulasi nasional seperti RUU Ketenagakerjaan, agar status pekerja platform diakui secara hukum dan memperoleh hak-hak dasar ketenagakerjaan.
Selanjutnya: Pertamina Hulu Energi (PHE) Produksi Minyak 559.000 Barel per Hari per Mei 2025
Menarik Dibaca: Jangan Bilas Dengan Air, Ini Cara Perempuan Tetap Aktif dan Nyaman Saat Red Days
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News