kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

OECD Dorong Negara Berkembang Evaluasi Tax Holiday


Rabu, 02 November 2022 / 13:17 WIB
OECD Dorong Negara Berkembang Evaluasi Tax Holiday
Petugas melayani wajib pajak di salah satu kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta, Selasa (30/8/2022).


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mendorong negara-negara berkembang untuk selektif dalam memberikan insentif pajak, terutama insentif pembebasan pajak atau tax holiday.

Pasalnya, saat ini negara-negara OECD dan G20 tengah mematangkan ketentuan mengenai tarif pajak minimum global yang tertuang di dalam Pilar Dua Ketentuan Pajak Global. 

Dalam Pilar Dua: Global Anti Base Eresion (GloBE) tersebut mensyaratkan penerapan pajak penghasilan (PPh) korporasi dengan tarif minimun sebesar 15%.

Pajak minimum tersebut akan diterapkan pada perusahaan multinasional dengan penerimaan di atas EUR 750 juta setahun. 

Baca Juga: Gelombang Eksodus Eksekutif Twitter Berlanjut, Musk Temui Pengiklan

Pilar Dua juga memberi mandat kepada semua yurisdiksi yang tarif PPh badan atas bunga, royalti, dan pembayaran lain kurang dari 9%, maka harus mengikuti ketentuan subject to tax rule (STTR).

Mengutip dari laporan yang berjudul Tax Incentives and the Global Minimum Corporate Tax: Reconsidering Tax Incentives after the GloBE Rules, OECD mengatakan bahwa pemberian tax holiday kepada perusahaan multinasional yang ada di dalam pilar Dua akan merugikan yurisdiksi tersebut.

OECD menyebut, akan ada dua kerugian yang dialami ketika penerapan pajak minimum global tersebut mulai berlaku. 

Pertama, negara atau yurisdiksi tersebut tetap harus mengelola pemberian insentif yang tidak bermanfaat. 

Kedua, negara tersebut akan kehilangan potensi penerimaan pajak, sementara negara lain akan mendapatkan manfaat pajak dari pemberlakuan top-up tarif pajak dari ketentuan global tersebut.

Baca Juga: Pengamat: Belanja Perpajakan Tahun Ini Naik Jadi Rp 275 Triliun

"Tax holiday yang tersebar luas di negara-negara berkembang merupakan salah satu instrumen insentif pajak yang membawa risiko paling besar bagi negara-negara. Hal ini terutama berlaku untuk tax holiday yang menargetkan semua pendapatan dari perusahaan tertentu, yang bertentangan dengan kategori pendapatan tertentu," dikutip dari laporan OECD, Rabu (2/11).

Artinya dengan disepakati Pilar Dua tersebut, fasiltas tax holiday sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan oleh pemerintah Indonesia. 

Untuk itu, apabila Indonesia tetap memberikan fasilitas tax holiday, maka pemerintah akan kehilangan potensi penerimaan dari perusahaan. Sebaliknya, justru tax holiday akan memberi tambahan penerimaan bagi yurisdiksi domisili perusahaan multinasional.

Baca Juga: Prospek Bisnis Moncer, AKRA Mengincar Pertumbuhan Pendapatan 25% Tahun Ini

Untuk itu, OECD menyarankan negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk segera mengevaluasi pemberian pembebasan pajak atau tax holiday saat pajak minimum global tersebut mulai diterapkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×