Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah untuk menggelar tax amnesty jilid II atau pengampunan pajak, nampaknya semakin nyata. Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo berharap, pemerintah dapat melaksanakan pengampunan pajak pada tahun 2021 atau 2022.
“Jadi ada kesempatan tertentu yang akan kami harapkan mungkin setengah tahun dalam satu periode 2022 atau dari 2021 ini dengan cara mengungkapkan aset yang belum diungkapkan tadi,” kata Dirjen Pajak Suryo Utomo saat Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUP bersama dengan Komisi XI DPR RI, Senin (5/7).
Agenda tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang kini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Panja RUU KUP Komisi XI DPR RI.
“Terkait dengan program peningkatan kepatuhan wajib pajak yang coba kami sertakan di RUU ini (KUP) sebagai salah satu materi yang dibahas di RUU ini,” ujar Suryo.
Baca Juga: Faisal Basri sebut Indonesia sumbang jumlah orang miskin terbanyak nomor 8 di dunia
Lebih lanjut, Suryo memaparkan ada dua skema dalam rencana program pengampunan pajak teranyar tersebut. Pertama, pengungkapan aset per 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan oleh para peserta tax amnesty tahun 2016-2017 lalu. Kebijakan ini berada dalam 37B-37D RUU KUP.
Alumni tax amnesty 2015-2016 itu akan dikenai pajak penghasilan (PPh) Final sebesar 15% atas nilai aset yang belum diungkapkannya. Namun, jika aset tersebut diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) yang ditentukan oleh pemerintah, maka berlaku tarif PPh Final lebih rendah yakni 12,5%.
Suryo mengatakan ketentuan lainnya untuk WP alumni tax amnesty 2016-2017 yang gagal menginvestasikan asetnya dalam SBN maka harus membayar 3,5% dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investasi di SBN.
Namun, apabila Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang menemukannya maka harus membayar 5% dari nilai SBN yang gagal diinvestasikan.
Baca Juga: Faisal Basri minta pemerintah tarik pajak tanpa pandang bulu
“Bahwa masih banyak terdapat peserta pengampunan pajak yang belum mendeklarasikan asetnya. Kemudian dirasa apabila dilakukan diperiksan oleh kami, PPh final 30% plus sanksinya 200%. Jadi masih ada yang tertinggal, bisa ikut program ini,” ujar Suryo.
Kedua, pengungkapan aset bagi WP orang pribadi atau WP OP yang diperoleh pada 2016-2019 dan masih dimiliki hingga 31 Desember 2019, tapi belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2019.
Dalam rencana program pengampunan pajak, WP OP tersebut akan dikenakan PPh Final sebesar 30% dari nilai aset, atau 2% dari nilai aset jika diinvestasikan dalam SBN yang ditentukan oleh pemerintah.
Baca Juga: Begini cara Sri Mulyani incar pajak orang super kaya
Untuk WP OP yang gagal investasi dalam SBN, maka pemerintah menetapkan tarif pajak sebesar 12% dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investasi di SBN. Atau membayar 15% dari nilai aset SBN apabila ditetapkan/ditemukan oleh Ditjen Pajak.
“Bahwa WP OP yang belum mengungkapkan penghasilan 2016-2019 ini yang muncul yang bersangkutan diberikan waktu mendeklarasikan asetnya yang dimilikinya belum dipertanggungjawabkan, dalam suatu program dengan cara mendeklarasikannya,” kata Suryo.
Adapun kedua skema pengampunan pajak tersebut sama-sama dibebaskan dari sanksi denda administrasi. “Ini usulan yang kami ajukan modelnya pengungkapan aset baik yang kondisi pertama dan kedua,” ucap Suryo.
Suryo menambahkan, agar program pengampunan pajak tersebut berjalan efektif, pihaknya akan menggunakan data internal maupun eksternal, seperti Automatic Exchange of Information (AEoI), data instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (Ilap) sebagai data pembanding atas aset yang dilaporkan WP OP calon peserta.
Selanjutnya: Kantongi Potensi Cuan Rp 9 Triliun, Investor Singapura Profit Taking di Saham EMTK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News