Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko merupakan langkah positif dalam memperbaiki iklim investasi di Indonesia.
Aturan ini memperkuat reformasi struktural yang sebelumnya dimulai melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan bertujuan menyederhanakan proses perizinan melalui sistem berbasis risiko yang lebih terintegrasi.
Kepala Pusat Makroekonomi Indef, Rizal Taufiqurrahman menjelaskan bahwa secara teori, penyederhanaan regulasi, peningkatan transparansi, dan kepastian hukum merupakan faktor penting dalam menarik investasi asing langsung (FDI).
Namun dalam praktiknya, daya tarik FDI tidak hanya ditentukan oleh keberadaan aturan, melainkan oleh implementasinya secara konsisten di lapangan.
Baca Juga: Didorong Perbaikan Iklim Investasi, KIJA Optimistis Kinerja Naik pada Semester II
"Selama masih terdapat hambatan klasik seperti birokrasi yang berbelit, tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah, serta inkonsistensi kebijakan, maka efektivitas PP ini dalam meningkatkan minat investor asing akan tetap terbatas," ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Jumat (8/8).
Dengan kata lain, aturan ini merupakan syarat perlu, namun belum menjadi syarat cukup untuk menjadikan Indonesia lebih kompetitif dibanding negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia.
Rizal menambahkan, penurunan FDI di semester I- 2025 mencerminkan kombinasi tekanan eksternal dan ketidakpastian internal, mulai dari perlambatan ekonomi global, fluktuasi suku bunga acuan di negara maju, hingga transisi politik pasca pemilu.
Di sisi lain, meskipun PP 28/2025 memberikan sinyal positif terhadap niat reformasi pemerintah, dampaknya terhadap arus FDI pada semester II-2025 tidak akan bersifat instan.
Baca Juga: Ini Penyebab Aliran Modal Asing Keluar dari RI Meski Risiko Investasi (CDS) Melandai
Investor asing pada umumnya menunggu bukti konsistensi implementasi dan melihat seberapa serius pemerintah mengawal pelaksanaan di tingkat teknis dan daerah.
Dengan demikian, menurutnya potensi peningkatan FDI memang terbuka, tetapi bersifat conditional, tergantung pada kepastian hukum, kestabilan kebijakan makro, dan kepemimpinan sektor publik dalam menjamin fair treatment terhadap investor.
"Jika reformasi ini disertai perbaikan dalam sektor prioritas misalnya hilirisasi berbasis ESG, digitalisasi manufaktur, atau transisi energi dan disampaikan dengan strategi komunikasi investasi yang kuat, maka tren FDI di semester II bisa pulih. Namun bila tidak, arus FDI kemungkinan tetap stagnan atau bahkan bergeser ke negara pesaing di kawasan ASEAN," imbuh Rizal.
Rizal memberikan rekomendasi kebijakan dalam dua horizan, yakni dalam jangka pendek dan jangka pendek.
Untuk jangka pendek, meskipun pemerintah telah menerbitkan PP 28/2025 sebagai upaya menyederhanakan perizinan berusaha berbasis risiko, efektivitasnya masih sangat dipertanyakan apabila tidak dibarengi dengan pembenahan tata kelola implementasi.
"Masalah klasik seperti ketidaksinkronan antara pemerintah pusat dan daerah, resistensi birokrasi sektoral, serta rendahnya akuntabilitas dalam proses layanan publik, berpotensi menghambat substansi reformasi ini," katanya.
Oleh karena itu, prioritas utama dalam jangka pendek bukan sekadar menambah aturan baru, tetapi memastikan reformasi benar-benar dijalankan secara konsisten di lapangan, termasuk penegakan disiplin birokrasi dan reformasi layanan investasi secara menyeluruh.
Selain itu, kata Rizal, pemerintah juga harus memulihkan kepercayaan investor yang sempat menurun akibat ketidakpastian transisi kekuasaan dan inkonsistensi arah kebijakan.
Baca Juga: Investasi China di IKN Hampir Capai Rp 70 Triliun, Ini Rinciannya
Pasalnya, tanpa sinyal yang tegas soal keberlanjutan program prioritas seperti hilirisasi berbasis ESG, IKN, serta insentif fiskal strategis, maka FDI tidak akan merespons secara signifikan.
Selain itu, kata Rizal, pemerintah juga perlu segera menghentikan pendekatan promosi investasi yang hanya seremonial, dan mulai mengedepankan strategi berbasis data, fokus sektoral, dan pemetaan risiko yang transparan agar investor memiliki justifikasi rasional untuk masuk ke Indonesia.
Adapun untuk jangka panjang, Rizal menyebut, pemerintah perlu mengakui bahwa masalah utama investasi asing bukan semata di perizinan, tetapi pada lemahnya fondasi struktural ekonomi dan buruknya koordinasi lintas sektor.
Tanpa adanya perbaikan menyeluruh terhadap kualitas institusi terutama dalam kepastian hukum, integritas aparat, dan efektivitas kebijakan fiscal maka upaya menarik FDI akan terus bersifat sporadis dan tidak berkelanjutan.
Baca Juga: Prospek Investasi Asing ke Indonesia Masih Terbuka Meski Ada Tekanan Global
Pembentukan kawasan industri dan program hilirisasi misalnya, sejauh ini masih terfragmentasi dan minim keterkaitan dengan rantai pasok lokal, sehingga manfaatnya bagi transformasi ekonomi domestik sangat terbatas.
Selain itu, kata Rizal, pemerintah juga cenderung gagal membangun konektivitas antara FDI dan penguatan UMKM, riset, serta kualitas tenaga kerja.
Oleh karena itu, reformasi pendidikan vokasi, investasi infrastruktur digital dan logistik, serta harmonisasi regulasi lintas sektor harus menjadi prioritas strategis yang tidak bisa ditunda.
"Skema insentif harus dirombak agar tidak menjadi beban fiskal tanpa imbal hasil, dengan menerapkan prinsip performance-based incentives yang mendorong peningkatan ekspor, teknologi, dan penyerapan tenaga kerja lokal," terang Rizal.
Baca Juga: Investasi Lokal Salip Asing di Awal Tahun, Proyek Jalan Tol Jadi Penyebabnya
Sebagai penutup, Rizal mengatakan, tanpa langkah-langkah struktural tersebut, Indonesia hanya akan menjadi ladang produksi murah jangka pendek, bukan mitra strategis bagi investasi jangka panjang yang berorientasi pada nilai tambah dan transformasi ekonomi berkelanjutan.
Selanjutnya: Resmi, 18 Agustus 2025 Cuti Bersama HUT RI Ke-80, Apakah Karyawan Swasta Libur Kerja?
Menarik Dibaca: Simak 3 Langkah Cerdas Mengatur Keuangan Sebelum Terjun ke Dunia Investasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News