Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Risiko investasi Indonesia, yang tercermin dari Credit Default Swap (CDS), menunjukkan tren penurunan dari level tertinggi 127 pada April 2025 ke kisaran 70,90 per Juli 2025. Meski demikian, arus modal asing ke pasar modal domestik masih menunjukkan tren arus keluar (outflow) yang lebih tinggi sejak awal tahun dibandingkan arus masuk (inflow).
Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Suhindarto, menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan investor asing keluar dari pasar modal domestik, terutama dalam beberapa pekan terakhir.
“Pertama, asing taking profit di pasar surat utang pemerintah, memanfaatkan apresiasi rupiah dan kenaikan harga seiring dengan pemangkasan suku bunga. Mereka mendapatkan keuntungan ganda dari selisih nilai tukar dan apresiasi harga obligasi,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (30/7).
Baca Juga: Pertamina Siap Tampung Minyak dari Sumur Rakyat
Menurut Suhindarto, pasar obligasi saat ini sudah cukup mahal untuk menarik minat asing kembali. Yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun dari 6,838% pada akhir Mei 2025 menjadi 6,536% per 28 Juli 2025, sehingga peluang untuk capital gain dari penurunan yield menjadi terbatas kecuali ada penurunan suku bunga lanjutan.
Faktor kedua berasal dari pasar saham yang masih dianggap riskan. Meskipun IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) naik dari 6.928 pada akhir Juni 2025 ke 7.615 pada 28 Juli 2025, pasar saham masih rentan terkoreksi karena pertumbuhan ekonomi domestik yang melemah dan sentimen negatif dari perang dagang serta kebijakan fiskal dan moneter AS.
“Kalau melihat data Bloomberg, Investor asing secara kumulatif masih membukukan jual bersih Rp6,11 triliun selama 1-28 Juli 2025,” tambah Suhindarto.
Ketiga, asing juga melepas kepemilikan mereka di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Hal ini dipengaruhi oleh rencana BI yang ingin mengurangi outstanding SRBI guna menyerap likuiditas lebih banyak di masyarakat serta imbal hasil SRBI yang kini sebanding dengan surat utang pemerintah, sehingga mengurangi peluang arbitrase.
Mengenai apakah investor asing sudah mulai meninggalkan pasar negara berkembang seperti Indonesia, Suhindarto menegaskan, emerging market masing menguntungkan bagi investor asing, sehingga sulit untuk ditinggalkan.
“Menurut saya tidak, asing saat ini hanya memanfaatkan timing saja dan mencari waktu yang paling menguntungkan untuk masuk kembali.”
Ia berharap investor akan kembali masuk ketika harga obligasi sudah lebih murah, rupiah terdepresiasi, dan perekonomian mulai menunjukkan tanda penguatan.
Untuk proyeksi risiko CDS Indonesia ke depan, Suhindarto memperkirakan CDS lima tahun akan berada di bawah level 100, atau di kisaran 60-90, dengan asumsi sentimen eksternal tidak memburuk.
Ia mengingatkan bahwa sentimen seperti kebijakan suku bunga AS, perang dagang, dan tensi geopolitik masih menjadi risiko yang dapat menyebabkan CDS naik kembali.
“Kenaikan CDS lima tahun biasanya beriringan dengan arus keluar modal karena investor cenderung risk off. Namun, ketika sentimen membaik, asing akan kembali masuk dan CDS pun turun seperti sebelumnya,” pungkas Suhindarto.
Sebagai informasi, Bank Indonesia mencatat selama tahun 2025, berdasarkan data setelmen sampai dengan 24 Juli 2025, nonresiden tercatat beli neto sebesar Rp59,52 triliun di pasar SBN, serta jual neto sebesar Rp58,92 triliun di pasar saham dan Rp60,19 triliun di SRBI.
Asal tahu saja di semester I-2025 atau sampai Juni 2025, jual neto asing paling besar terjadi pada saham, yakni mencapai Rp 47,15 triliun, sementara jual neto asing pada SBN mencapai Rp 44,93 triliun, disusul SRBI sebesar Rp 28,69 triliun.
Baca Juga: Apindo Soroti PHK Marak meski Realisasi Investasi Capai Rp 942,9 Triliun
Selanjutnya: Menteri Maruarar: Aturan KUR Sektor Perumahan Siap Ditandatangani
Menarik Dibaca: Film Pendek Keluarga Suami Adalah Hama jadi Konten Terlaris di Noice
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News